Mengasah Kepekaan Ruhani
Dua unsur dalam diri manusia itu juga menggambarkan dua potensi besar, yaitu potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Dr Mutohharun Jinan, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
MANUSIA adalah makhluk dua dimensi, jasmaniah dan ruhaniah. Dalam istilah lain manusia mengandung dua unsur, basyariah dan insaniah. Dua unsur dalam diri manusia itu juga menggambarkan dua potensi besar, yaitu potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual.
Manusia mampu menangkap segala yang terkait sebab akibat gejala-gejala alam fisikal, seperti penyebab sakit dan hukum keteraturan alam. Dalam waktu yang sama manusia juga mampu menangkap isyarat-isyarat ghaib dari alam metafisik. Manusia juga dituntut untuk menangkap segala yang hal yang tidak terlihat di balik gejala yang terlihat.
Kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah yang mulia ditentukan oleh kemampuan dalam mengasah dan mengembangkan potensi-potensi itu secara seimbang. Tidak boleh mengutamakan satu potensi saja sementara potensi lain diabaikan. Mengabaikan satu potensi akan berakibat fatal, hidup manusia menjadi tidak seimbang, gelap dan menderita.
Namun sayangnya, kebanyakan orang lebih mengutamakan pengembangan satu aspek saja, yakni mengutamakan potensi jasmaniahnya dari pada ruhaniah. Tidak banyak orang mampu melihat potensi ruhaniah sebagai pilar penting mencapai kebahagiaan. Ibadah puasa Ramadan merupakan cara Allah mengajarkan kepada manusia untuk mempertahankan sekaligus mengembangkan dua potensi itu secara seimbang agar hidupnya terang dan bahagia.
Orang berpuasa tentu akan merasakan lapar, secara fisik kemampuannya agak menurun, timbul bau tidak sedap dari mulutnya. Semua ini gejala fisikal yang alami yang mudah dijelaskan. Rasa lapar yang mendera merupakan kurang asupan makanan dan air kedalam tubuh. Ya, berpuasa memang menahan makan dan minum sepanjang hari.
Hikmah ruhaniah rasa adalah supaya tumbuh empati kepada mereka yang sering merasakan lapar akibat kemiskinan dan bencana. Berlapar-lapar puasa pada dasarnya untuk menyuburkan hati.
Sebagaimana disebutkan Imam Al-Ghazali, "Janganlah kalian membunuh hati kalian deNgan banyak makan dan minum, karena sesungguhnya hati laksana ladang pertanian yang akan mati jika terlalu banyak air."
Empati yang tumbuh dari rasa lapar berarti akan mengarahkan orientasi hidup untuk berbagi kepada sesama. Jiwa seseorang akan merasa lega dan bahagia jika orientasi hidup seseorang lebih menyenangi untuk memberi dan berbagi, bukannya mengambil dan menerima, lebih-lebih mengambil yang bukan haknya.
Dengan demikian empati merupakan gejala ruhaniyah yang membimbing seseorang mencapai kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan ruhani. Kebahagiaan akan mudah ditemukan pada pribadi-pribadi altruistik, yaitu mereka yang selalu mensyukuri hidupnya dengan cara berbagi kebahagiaan pada orang lain.
Dalam tindakan memberi dan melayani itulah nilai dan predikat kebajikan dan amal saleh baru akan muncul. Iman yang sesungguhnya hanya akan mendapat pengakuan jika rasa emapati dan mencintai orang lain sebagaimana memperlakukan seperti pada diri sendiri.
Dalam satu Hadis disebutkan, "Tidak beriman seorang dari kamu sekalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya." Dalam Islam kesediaan berbagi dilembagakan dalam berbagai bentuk ajaran filantropis, seperti zakat, infaq, sedekah, hadiah, hibah, wakaf dan lain-lain. Semua tradisi filantropis ini menandai kemuliaan jiwa atau kematangan ruhani seseorang.
Puasa ramadan yang dilaksanakan kaum muslim selama sebulan akan disempurnakan dengan kaharusan berbagi, keharusan berempati kepada sesama yang secara simbolik diwujudkan dalam bentuk pembagian zakat fitrah. Lebih dari itu, zakat pada dasarnya merupakan satu metode yang didesain untuk mensucikan jiwa sebagai prasarat untuk mencapai derajat takwa.