Memahami Keistimewaan Ramadan Jangan 'Murahan'
Memahami keistimewaan Ramadan harus dengan cara istimewa. Jangan keistimewaan Ramadan justru dipahami dengan cara murahan, mudah marah dan sebagainya.
Editor: Y Gustaman
Oleh: KH. Cholil Nafis, Ph.D, Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
TRIBUNNEWS.COM - Bulan suci Ramadan disambut oleh umat Muslim dengan sangat antusias. Beragam ekspresi budaya sering ditampilkan untuk menyambut bulan suci umat Muhammad ini.
Bulan yang disebut dengan beragam istilah, bulan penuh berkah, bulan pengampunan, bulan rahmat, dan seterusnya. Sehingga, sering kita mendengar, orang-orang yang tadinya hidup glamour dan hedon tiba-tiba menjadi “saleh” saat Ramadan.
Memang tidak salah sebagai sebuah upaya untuk menjadi baik, tetapi menempatkan Ramadan menjadi semacam waktu “cuci gudang dosa” untuk kemudian berbuat dosa lagi sebagai hal yang salah.
Sebaliknya, kita bisa saksikan bagaimana ada sebagian orang yang berlebihan menyikapi datangnya bulan Ramadan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan spirit Ramadan.
Fenomena yang sering terjadi ada sekelompok orang yang melakukan kekerasan kepada kelompok lain yang dianggap mengganggu kesucian Ramadan, seperti perusakan tempat-tempat hiburan.
Sangat ironis adalah saat ada orang yang memaksa kepada warung-warung yang buka di siang hari Ramadan agar menutupnya dengan cara kekerasan. Bukankah di sekeliling kita, dalam realitas kehidupan kita, ada orang-orang yang tidak ada kewajiban untuk berpuasa? Kaum non-Muslim jelas, para wanita haid, musafir, manula yang sudah tidak kuat lagi, dan lainnya.
Teringat apa yang pernah disampaikan oleh Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, pada saat bulan Ramadan sepatutnya antara yang puasa dan yang tidak untuk saling menghormati. Orang yang berpuasa hendaknya dia bisa menjaga puasanya dengan tidak cepat marah karena melihat di sekelilingnya yang dianggap menodai puasanya.
Seburuk apapun yang kita lihat saat kita berpuasa hendaknya kita tidak serta merta marah, apalagi merusak. Demikian juga halnya yang tidak berpuasa harus bisa menahan diri untuk bisa memberikan respek, menyesuaikan dengan suasana orang yang kebanyakan berpuasa.
Di bulan baik ini memang Allah memberikan keistimewaan-keistimewaan bagi hamba-Nya yang mampu memanfaatkan peluang dengan baik. Namun, memahami keistimewaan Ramadan harus pula dengan cara yang istimewa. Jangan sebaliknya, keistimewaan Ramadan justru dipahami dengan cara “murahan”, mudah marah, mudah menuduh pihak lain, mudah menyalahkan, dan semacamnya.
Jika datangnya Ramadan disikapi dengan cara yang “murah” semacam itu, maka sinyalemen Rasulullah yang mengatakan begitu banyak orang yang berpuasa hanya merasakan haus dan lapar menjadi benar adanya.
Bagaimana kita memahami keistimewaan Ramadan yang tepat? Abu Bakar As-Syibli, seorang sufi fenomenal (wafat tahun 334H), pernah mengatakan bahwa janganlah kita menjadi “budak Ramadan”.
Menurut dia, penghambaan kita kepada Allah di bulan Ramadan tidak boleh semata-mata karena datangnya bulan suci ini. Bulan ini memang oleh Allah SWT dijanjikan begitu banyak kelebihan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Namun jika dasar ibadah kita semata-mata hanya karena Ramadan, maka kita seperti menjadi budak Ramadan. Ramadhan hanya sebuah media, waktu yang disediakan oleh Allah SWT untuk hamba-hambanya agar senantiasa meningkatkan kualitas spiritualnya.
Jika selepas Ramadan tidak ada bekas kesalehannya, maka kita benar-benar menjadi budak Ramadan. Ramadan seperti dijadikan alasan utama menjadi baik untuk kemudian melupakan kebaikan-kebaikan itu di 11 bulan lainnya.
Memahami keistimewaan Ramadan memang membutuhkan pemahaman yang utuh. Ramadan momentum meningkatkan amalan-amalan baik, namun tidak cukup berhenti di situ.
Tujuan Allah menyediakan bulan ini dengan segala keistimewaannya agar hamba-hamba-Nya terbangun motivasi yang kuat untuk kemudian dipertahankan dan ditingkatkan di bulan lainnya.
Tentu tidak cukup dalam bentuk ritual-ritual fisik, tetapi sebuah pemaknaan yang mendalam bahwa bangkitnya spiritualitas secara simultan harus didasarkan pada kesadaran dasar bahwa manusia adalah makhluk spiritual.
Makhluk yang harus mampu meningkatkan kualitas spiritualnya jauh dari tarikan-tarikan nafsu setan dan kebinatangan. Fokuskan seluruh kebaikan yang kita lakukan hanya semata-mata karena Allah SWT. Mari kita niatkan Ramadhan tahun ini sebagai starting point kita menjadi lebih baik segalanya. Semoga
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.