Intensitas Kesadaran Beragama
Fenomena meningkatnya kesadaran beragama di bulan Ramadan bisa dilihat dari semakin mudahnya kita menemukan rumah-tumah ibadah di berbagai tempat.
Editor: Y Gustaman
Dr Mutohharun Jinan, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Kehidupan masyarakat saat ini ditandai oleh merebaknya orang kembali sadar akan pentingnya beragama. Atau lebih tepatnya orang beragama tampak ingin lebih agamis.
Terlebih pada saat bulan Ramadan seperti sekarang ini aura intensitas keberagamaan sangat terasa. Fenomena meningkatnya kesadaran beragama juga bisa dilihat dari semakin mudahnya kita menemukan rumah-tumah ibadah di berbagai tempat, seperti di terminal bus, stasiun, sekolahan, pabrik-pabrik, dan kantor-kantor pemerintah maupun swasta.
Belakangan juga marak kegiatan majlis taklim yang anggotanya para eksekutif dan diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, haji dan umrah menjadi kebanggaan, dan kelompok kajian keislaman. Media cetak dan elektronik tidak mau kehilangan menyikapi momen ini.
Tanyangan acara dakwah Islam di televisi menjadi acara unggulan karena banyaknya pemirsa. Tidak sedikit koran, majalah, tabloid juga membuka rubrik khusus keagamaan, baik berbentuk tanya jawab dengan seorang ulama maupun dalam bentuk tulisan-tulisan pendek.
Adanya tayangan khusus dan rubrik keagamaan itu tentu bukan tanpa alasan. Paling tidak rubrik keagamaan merupakan respon media terhadap tuntutan masyarakat beragama.
Apakah gerangan yang menyebabkan meningkatnya kesadaran beragama di kalangan masyarakat? Ada beberapa alasan yang layak dikemukakan di sini.
Pertama, gejala merebaknya kajian keagamaan merupakan gejala global. Satu di antara kecenderungan di abad ke-21 adalah semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap sebuah identitas, baik itu berupa etnis, ras dan terutama agama.
Kedua, kebutuhan dasar manusia adalah mendambakan kedamaian dan kebahagiaan. Bahwa pola hidup mewah dan glamour serta berlimpahnya materi, bukan jaminan mengantarkan orang kepada kebahagiaan sesungguhnya, tetapi justru menjauhkan rasa kebahagiaan hakiki dari jangkauannya.
Akibatnya, mereka mengalami kegersangan spiritual dan kehampaan batin. Untuk mengisi kekosongan spiritual dan kehampaan batin ini mereka lari kepada agama, sebagai tempat yang paling aman untuk berlindung.
Ketiga, biasanya intensitas keberagamaan itu juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang bersifat individual. Pada fase tertentu manusia pada dasarnya tampak memiliki tiga karakteristik, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan keterasingan.
Seseorang yang mengalami guncangan batin akibat ketidakberdayaannya menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bisa merubah orientasi dan pandangan hidupnya. Misalnya, mengapa keluarga yang telah dibangun menggunakan perhitungan rasional dan kelengkapan materi yang serba cukup belum juga medatangkan kebahagiaan, malahan sebaliknya terjadi perceraian.
Pengalaman yang muncul di luar jangkauan nalar seperti ini sering dialami oleh manusia modern, yang kemudian mendorong seseorang kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual atau agama. Corak keberagamaan yang mengemuka adalah sufistik dan formalistik.
Corak sufistik agama tidak dipahami dengan pendekatan pemikiran-filosofis yang bertele-tele dan banyak menguras pikiran. Tetapi agama dihayati sehingga menjadi cahaya yang dapat menerangi kegelapan kalbunya dan memberikan setetes air untuk menyejukkan kegersangan jiwanya akibat kefoya-foyaan berlebihan.
Tasawuf yang menjadi pilihan hidup selebirtis yaitu 'tasawuf positif'. Tasawuf positif lazim dipahami sebagai tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan dan harmoni hidup. Bukannya tasawuf yang dapat memenjarakan diri ke dalam kesalehan individual semata.
Yang perlu dicermati lebih jauh adalah keberagamaan formalistik, yang sering kali dijadikan alat legitimasi politik oleh kelompok keagamaan tertentu. Ketika agama difungsikan sebagai alat politik-kekuasaan, rentan dengan tindak kekerasan sosial atas nama agama dan penegebirian kelompok lain.