Dalem Cikundul, Murid Sunan Gunung Jati Penyebar Islam di Cianjur
Makam Raden Aria Wiratanu Datar atau Eyang Dalem Cikundul berjarak 20 kilometer dari pusat kota Cianjur tepatnya di Kecamatan Cikalongkulon.
Editor: Y Gustaman
![Dalem Cikundul, Murid Sunan Gunung Jati Penyebar Islam di Cianjur](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/makam-eyang-cikundul_20170529_155343.jpg)
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Ferri Amiril Mukminin
TRIBUNNEWS.COM, CIANJUR - Makam Raden Aria Wiratanu Datar atau Eyang Dalem Cikundul berjarak 20 kilometer dari pusat kota Cianjur tepatnya di Kecamatan Cikalongkulon.
Sebelum sampai ke sana, kita harus melewati Kecamatan Mande, kemudian masuk ke jalur Cianjur-Jonggol sebelum sampai ke Cikalongkulon.
Cikalongkulon merupakan kawasan tepi genangan Cirata. Kawasan tersebut identik dengan warga yang lalu lalang membawa alat pancingan di tas punggungnya.
Pada Ramadan banyak yang menghabiskan waktu ngabuburit memancing di sana. Tak sedikit juga remaja yang keluar pada sore hari mencari takjil ke kawasan alun-alun kecamatan.
Makam Eyang Dalem Cikundul berada di sebuah bukit. Warga menyebutnya pasir. Kawasan ini masuk wilayah Desa Cijagang, sekitar empat kilometer dari jalur Cikalongkulon-Cariu.
Petunjuk arah cukup jelas di pertigaan jalan. Saat bulan Mulud, peziarah dari berbagai daerah akan memadati kawasan Desa Cijagang ini.
Kawasan itu tadinya sebuah perbukitan dan persawahan. Namun, kini, berkembang menjadi ramai. Kios-kios yang menjajakan berbagai makanan dan pakaian bisa dijumpai di gerbang masuk kawasan makam Cikundul.
Pelataran parkir yang luas sengaja dibuat. Maklumlah, jika sedang bulannya berziarah, bus besar banyak yang datang di kawasan ini.
Beberapa meter sebelum gerbang ada sebuah sungai yang mengalir dan dua jembatan hanya diperuntukkan bagi kendaraan roda dua. Sebuah masjid terlihat di samping kiri. Beberapa penjaga makam atau yang akrab disapa kuncen akan menyapa. Begitu juga ketika Tribun mulai melangkah masuk.
![Makam Eyang Dalem Cikundul](http://cdn2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/makam-eyang-dalem-cikundul_20170529_155519.jpg)
"Assalamualaikum," sapa H Acep Mukti (71), seorang penjaga makam, sambil mempersilakan duduk dan mulai bercerita ringan mengenai pendahulunya yang juga menjadi kuncen makam. Sabtu (27/5/2017) sore itu ada empat orang kuncen yang duduk santai sambil menunggu peziarah yang datang.
Acep mengatakan Mulud tahun ini peziarah mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Ia menduga bencana yang membuat jembatan di Jonggol patah menjadi penyebabnya selain banjir di berbagai daerah.
"Banyak panitia yang mendapat kabar pembatalan kunjungan setelah jembatan Jonggol patah," katanya.
Dari papan kunjungan yang terdapat di sana, tahun kemarin jumlah kunjungan mencapat angka 70 ribu orang, sedangkan tahun ini hanya setengahnya, yakni 34 ribu orang.
Mulai beranjak dari duduk, Acep mengajak Tribun menuju makam Eyang Dalem Cikundul. Untuk sampai ke makam, pengunjung harus menaiki 170 anak tangga. Anak tangga tersebut sudah mengalami perbaikan dengan peneduh baja ringan dan lantai yang bersih terawat.
Acep menceritakan sejarah Raden Aria Wiratanu Datar yang membuka kerajaan kecil dan sekarang menjadi Kabupaten Cianjur.
"Menurut cerita turun-temurun, Raden Aria Wiratanu Datar adalah anak Raden Aria Wangsa Goparan, yang masih keturunan Raja Sunda Galuh Mundingsari alias Banjarsari," kata dia sambil terus melangkah.
Eyang Dalem Cikundul dilahirkan sekitar tahun 1603 Masehi di Kampung Cibodas, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.
Pada usia delapan tahun ia dididik dan digembleng di paguron (perguruan) Islam Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan penerus Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Eyang Dalem Cikundul seorang siswa teladan dan paling menonjol dibanding siswa-siswa lainnya. Eyang menguasai bidang ajaran keagamaan, keperwiraan, dan ilmu kemasyarakatan.
"Tamat di perguruan tersebut ia mendapat gelar Aria. Gelar itu merupakan gelar untuk kerabat keraton dengan kedudukan 'Ngabehi' selaku penggawa Kesultanan Cirebon dengan nama khusus Ngabehi Jaya Sasana," kata dia.
Pada usia 23 Eyang Dalem Cikundul mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi senopati Kesultanan Cirebon sehingga mendapat gelar Raden Aria Wiratanu.
"Ia lalu diberi prajurit sebanyak 300 umpi (1.200 jiwa) dari Kesultanan Cirebon," kata Acep.
Eyang Dalem Cikundul mendapat tugas dari penerus Syekh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan kecil di wilayah kosong bekas wilayah Pajajaran.
Sebelum mendirikan Kabupaten Cianjur, Eyang Dalem Cikundul sering berzikir di kawasan Sagalaherang, Subang.
Saat berangkat ia hanya mendapat petunjuk untuk mendirikan kerajaan di kawasan selatan sebelah barat. Petunjuk lainnya, wilayah yang harus dijadikan kerajaan itu adalah sebuah wilayah yang sering dijadikan tempat mandi badak berwarna putih.
Eyang Dalem Cikundul akhirnya menemukan tempat pemandian badak putih tersebut. Ia membawa pasukan dan sekitar 500 keluarga ke tempat tersebut.
"Kini sumur tempat mandi hewan badak putih masih ada di dekat pegadaian," kata dia.
Dalam perjalanan membawa pasukan, ada beberapa tempat yang kini namanya masih dipakai di Cianjur, yakni Rancabali saat ia menemukan kawasan rawa lalu pasukan balik lagi; Sayang Heulang, tempat ia menemukan pepohonan tinggi dan banyak sarang elangnya; Salakopi, tempat para pasukannya bersama keluarga memetik biji kopi sebagai perbekalan; dan Pamoyanan, tempat berjemur.
Sekitar tahun 1691-1692 Masehi berdirilah secara resmi Kerajaan Cianjur yang merdeka dan berdaulat penuh dipimpin Eyang Dalem Cikundul.
Raden Aria mendapat tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor.
Memasuki usia lanjut, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Aria Wiramanggala yang bergelar Raden Aria Wiratanu Datar Tarikolot.
Pada usia lanjut, Eyang Dalem Cikundul berangkat menuju arah utara mendirikan perguruan Islam di wilayah Cikalongkulon.
Tahun 1692-1695 Masehi, Eyang Dalem Cikundul tutup usia dan kemudian disemayamkan di bukit Pasir Gajah, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon.
"Ada ciri-ciri yang saya dengar tentang Eyang Dalem Cikundul, sejak kecil sekitar umur tiga tahun ia mempunyai kegemaran naik ke bukit dan menghadap ke arah kiblat seolah-olah merenung dengan mata yang menerawang. Gaung suaranya sangat terkenal. Sekalipun berbisik, suaranya dapat didengar oleh orang yang dipanggil," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.