Mendidik Jiwa Zuhud dengan Berpuasa
Islam telah memberikan banyak jalan agar jiwa-jiwa umatnya menjadi baik dan kuat.
Editor: Y Gustaman
KH. Cholil Nafis, Ph.D., Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
TRIBUNNEWS.COM - Dunia saat ini sudah mulai menua. Banyak tanda-tanda ke arah itu. Mulai dari kerusakan alam yang semakin massif hingga menurunnya kesadaran umat manusia terhadap nilai-nilai moral.
Berapa banyak perilaku manusia yang semakin hari semakin menjauh dari ajaran Tuhan, seperti sikap konsumerisme, hedonisme, individualisme, permisifisme, dan lain-lain.
Lebih-lebih di saat kemajuan teknologi semakin menggila, sehingga kemaksiatan juga semakin gampang dilakukan.
Akibat dari itu, manusia hidup tidak memiliki arah yang jelas. Orientasi berhenti pada kesenangan dasar (pleasure principles) seperti yang pernah disebut oleh Psikolog Barat, Sigmun Frued.
Hanya kesenangan fisik saja yang dicari dan dijadikan standar hidup. Harta melimpah, fasilitas hidup semakin mudah, namun jiwa-jiwanya semakin kering dan hampa.
Demikian juga keramaian dan hiburan ada di mana-mana, namun keterasingan batin makin menjadi.
Jika dicermati, manusia sebenarnya makhluk spiritual. Manusia membutuhkan kondisi jiwa yang sehat. Jiwa yang bisa memberikan iklim pertumbuhan lahir dan batin secara normal.
Hanya saja di saat tarikan hawa (jiwa rendah) begitu kuat menarik ke bawah, maka kekuatan spiritual menjadi melemah, bahkan menghilang.
Islam telah memberikan banyak jalan agar jiwa-jiwa umatnya menjadi baik dan kuat. Salah satu metode yang diajarkan adalah melalui puasa, yaitu jalan spiritual yang diyakini mampu membentuk jiwa-jiwa takwa.
Dalam QS: Albaqarah: 183 disebutkan bahwa puasa diharapkan dapat menjadikan pelakunya sebagai pribadi yang bertakwa.
Output takwa merupakan sebuah kondisi spiritual yang cukup ideal, karena dengan jalan itu jiwa-jiwa tidak terbelenggu oleh kesenangan duniawi, mampu mengendalikan nafsunya serta dipenuhi dengan sifat dan pengharapan positif terhadap rahmat Allah di akhirat kelak.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa mencintai dunia, maka dia merusak akhiratnya, dan barangsiapa yang mencintai akhirat, maka (seolah-olah) membinasakan dunianya. Maka, utamakanlah yang kekal (akhirat) daripada yang fana (dunia).” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Untuk lebih mencintai alam akhirat, satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan jalan zuhud. Yaitu penggemblengan jiwa untuk mengosongkan diri dari keinginan-keinginan yang memalingkan diri dari urusan akhirat. Segala aktivitas kehidupannya semata-mata ditujukan untuk kepentingan akhirat kelak.
Menjalani jalan zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, dengan mengasingkan diri dari kegiatan dunia dan lari dari fakta-fakta kehidupan, seperti mengasingkan diri di gua-gua terpencil.
Zuhud merupakan olah batin di mana rasa kepemilikan dunia tidak sampai ke hati, namun sebatas sampai di tangan.
Abu Sulaiman al-Darani berkata bahwa zuhud itu menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan diri dari Allah SWT. Artinya, segala hal yang dapat memalingkan diri dari ajaran Tuhan harus dihindari.
Sedangkan Imam Ahmad Ibnu Hanbal, zuhud dibagi menjadi 3 macam. Pertama, menjauhi perkara-perkara yang haram, yaitu zuhudnya orang awam. Kedua, menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam hal yang dihalalkan, yaitu zuhudnya orang khawash. Ketiga, menjauhi apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah, yaitu zuhudnya ”arifin”.
Oleh karena itu, momentum puasa di bulan Ramadan ini merupakan waktu yang tepat untuk mulai membiasakan jalan hidup zuhud. Para tokoh sufi, ulama dan kyai besar telah mempraktikkan itu.
Dengan menahan lapar, haus, dan segala hal yang dilarang, kita dididik untuk tidak berlaku serakah terhadap harta, mengontrol hawa nafsu, mampu membina jiwanya dimana kampung akhirat menjadi landasan, disertai dengan amalan-amalan baik, seperti mengaji Alquran, shalat malam, memperbanyak sedekah, dan lain-lain.
Dari sini, seseorang yang berpuasa dapat menyandarkan semua aktivitasnya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT, dan menghindari diri dari setiap perilaku yang bisa melalaikan hamba pada Sang Pencipta.
Pertanyaannya adalah, apakah puasa kita telah sampai pada suatu tahapan di mana jalan hidup zuhud akan kita gapai? Jangan-jangan puasa kita hanya sekedar menggugurkan kewajiban semata? Wallahu a’lam