Arsitektur Jawa di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Filosofinya
Jika berkunjung ke Keraton Yogyakarta sempatkanlah ke Masjid Gedhe Kauman yang sarat sejarah dengan arsitektur berkelas.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Tris Jumali
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Jika berkunjung ke Keraton Yogyakarta sempatkanlah ke Masjid Gedhe Kauman yang sarat sejarah dengan arsitektur berkelas.
Gempa dahsyat yang menguncang Yogyakarta, khususnya Bantul, pada 2006 silam sempat menyebabkan runtuhnya Gapuro dan Serambi Masjid Kauman serta menimpa kyai penghulu hingga meninggal.
Atas kejadian itu Sri Sultan Hamengku Buwono VI memberikan kagungan dalem "Surambi Munara Agung" berupa material yang sedianya dipergunakan untuk membangun Pagelaran Kraton namun dialihkan untuk membangun kembali Serambi Masjid yang runtuh.
"Pembangunan kembali Serambi Masjid dimulai pada Kamis Kliwon tanggal 20 Jumadil akhir tahun Jimawal 1797 jw / 1868. Luas Serambi masjid yang baru dua kali lipat lebih besar dari yang sebelumnya. Serambi Masjid yang baru hingga sekarang masih berdiri," ungkap Totok Yulianto, Koordinator Humas dan Kerjasama Radio Saka, Keraton Yogyakarta.
Serambi Al Mahkamah Al Kabiroh dipergunakan untuk mengurus masalah sosial kemasyarakan dilambangkan dengan profil delapan buah nanas menggantung pada setiap tiang utamanya.
Serambi masjid terdiri dua lantai, bagian atas terdapat 24 tiang penyangga, bagian bawah terdapat 32 tiang penyangga. Berbeda dengan tiang-tiang di ruang salat utama, semua tiang yang ada di serambi masjid mempunyai umpak (alas) dari batu.
Di setiap tiang terdapat relief dan kaligrafi tentang perkembangan kehidupan beragama di tanah Jawa, bahwa pada awalnya orang Jawa memeluk agama Hindu, kemudian profil diatasnya menggambarkan stupa.
Ke atas lagi menunjukkan masuknya agama Nasrani. Di atasnya lagi terdapat kaligrafi berbentuk stilir tumbuhan terbaca Muhammad dan Ar-Rahman dan di puncaknya terdapat kaligrafi bertuliskan Allah.
"Seni hias atau pahat yang terdapat di masjid ini selain sebagai penghias juga memiliki makna simbol yang erat kaitannya dengan agama Islam. Profil buah labu atau waluh yang terdapat disetiap pilar pagar dan pintu gerbang adalah untuk mengingatkan kita kepada Allah SWT," ungkap dia.
Kompleks Masjid Gedhe Kauman luasnya 16.000 meter persegi. Selain bangunan utama masjid terdapat di antaranya dua buah Pagongan, dua buah Pajagan, Pengulon (perumahan para ulama, imam, dll), dan Taman Makan.
Pelantaran ubin masjid dari batu kali hitam dan dibatasi tembok benteng yang tinggi dan kokoh biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan olahraga seperti senam, futsal, basket, bulu tangkis, dll.
Bangunan Masjid Gedhe seluas 2.578 meter persegi terdiri dari ruang salat utama, dan serambi masjid, sedangkan sisanya untuk Ruang Yatihun, Ruang Pawestren, Pawudhon, Pabongan Gedung Kuning (perpustakaan), Ar-Raubah (Ruang Perawatan Jenazah), Kamar-kamar mandi, halaman dalam, blumbang, dan lain sebagainya yang berdiri diatas tanah seluas 4000 meter persegi.
Sultan kala itu membangun fasilitas bagi para pengurus masjid. Pengulon yang terletak disisi utara Masjid Gedhe adalah perumahan bagi penghulu Keraton dengan keluarganya.
Bagi para ulama ketib (Khotib), modin (Muadzin) merbot, Abdi Dalem Pametakan, Abdi Dalem Kaji Selusinan, Abdi Dalem Banjar Mangah, diberikan fasilitas perumahan di sekitar kompleks masjid yang dinamakan Pakauman yang akhirnya lebih dikenal dengan Kampung Kauman.
"Atap masjid berbentuk Tajuk Lambang Teplok yaitu bangunan yang mempunyai atap bertingkat tiga," ungkap Totok.
Maknanya, setiap orang ingin mencapai kesempurnaan hidup baik di dunia maupun akhirat haruslah dapat melampaui tiga tingkatan yaitu Hakekat, Syariat, dan Ma'rifat Mustakanya berbentuk Daun Kluwih dan Gadha yang mempunyai makna, Daun Kluwih (sejenis buah sukun) bermakna orang akan mempunyai kelebihan atau keistimewaan apabila telah melampaui tiga tingkatan tadi.