Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Agama dan Kekerasan

Sering muncul opini agama menjadi sumber keresahan dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Betulkah demikian?

Editor: Y Gustaman
zoom-in Agama dan Kekerasan
Kompas.com/Banar Fil Ardhi
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Komaruddin Hidayat. 

Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

TRIBUNNEWS.COM -  Sering muncul opini agama menjadi sumber keresahan dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Betulkah demikian? Karen Amstrong, seorang yang sekarang paling aktif melakukan kajian sejarah agama-agama dan sangat produktif menulis buku tebal-tebal, secara tegas menyatakan, "Tidak!"

Ini bisa dibaca dalam karyanya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014), yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Mizan (2016). Menurut sejarawan, setiap peperangan melibatkan banyak faktor di dalamnya, yaitu faktor sosial, materiel, dan ideologis yang saling berhubungan.

Dari semua itu alasan utamanya adalah berebut sumber daya yang langka. Begitupun terorisme, tak bisa disederhanakan sebagai kekerasan agama, meskipun sentimen agama terlibat di dalamnya.

Adalah mereka yang sudah terbentuk alam pikirnya dengan paham sekuler yang antiagama, sehingga agama lalu dijadikan kambing hitam, lalu dilepaskan ke padang gurun politik.

Mereka mengklaim monoteisme sangat tidak toleran dan agama tak mengenal kompromi. Mereka lupa, perang dunia yang menciptakan trauma sejarah itu tidak dipicu oleh agama.

Di wilayah nusantara, Islam berkembang dibawa oleh para pedagang. Sifat pedagang selalu terbuka, senang memelihara persahabatan dan memperbanyak kawan baru untuk mengembangkan bisnisnya.

Berita Rekomendasi

Pedagang yang senang konflik tentu tak akan mendukung usahanya. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah baru.

Dua karakter dan agenda ini saling mengisi sehingga kota-kota pantai di nusantara ini adalah pusat perdagangan yang juga pusat penyebaran Islam.

Lihat saja kota-kota pantai semisal Cirebon, Semarang, Gresik, Makassar, Maluku, dan beberapa kota pantai, semuanya merupakan pusat perdagangan dan pusat penyebaran Islam.

Yang juga menarik diperhatikan, menurut catatan sejarah, muatan Islam yang dikembangkan pada masa-masa awal lebih banyak bermuatan tasawwuf. Ini mungkin berkaitan dengan situasi dunia Islam di Timur Tengah yang secara politik tengah mengalami kemunduran lalu berkembang faham tasawwuf.

Bisa juga Islam yang datang ke Indonesia yang melewati Persia dan India telah dipengaruhi oleh tradisi esoterisme (tasawwuf dan filsafat) sehingga ekspressi dan artikulasinya lebih inklusif, estorik, dan ramah.

Kembalikan romantisme

Kerajaan Islam berjaya melampaui kekuasaan Barat. Tetapi semua negara yang hanya mengandalkan pertanian pada akhirnya akan kehabisan sumber daya intrinsik terbatas, yang akan menghambat laju inovasi.

Hanya bangsa dan negara industri yang jauh lebih berpeluang membuat kemajuan melampaui kebutuhan zamannya. Mungkin ini yang menyebabkan kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islam terhenti, atau jauh ketinggalan dari Barat.

Di sini faktor sains dan militer sangat berperan, bukannya masalah agama. Perlawanan agama muncul dengan kehadiran modernitas yang menguasai hampir seluruh lini kehidupan, lalu agama terpinggirkan.

Ini dirasakan baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam. Kekuatan agama ingin mengembalikan romantisisme masa lalu, yang kemudian disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme.

Istilah kembali ke fundamen ini dicetuskan oleh Protestan Amerika pada 1920, yang kemudian dilekatkan pada semua gerakan keagamaan yang antimodernitas. Gerakan fundamentalisme ini awalnya hanya sedikit yang melakukan kekerasan.

Gerakan ini dipicu oleh rasa takut dan terancam terhadap kekuatan sekuler yang akan menghancurkan kekuatan agama. Semacam paranoid. Komunitas Yahudi selalu mengenang pengalaman sangat pahit dari kekuasaan Hitler yang mau menghabisi mereka.

Dalam sejarah Islam, kejatuhan Dinasti Usmani yang berpusat di Turki juga meninggalkan tragedi berkelanjutan bagi dunia Islam di hadapan kekuatan Barat yang agresif.

Inggris dan sekutunya seenaknya membagi dunia Islam menjadi negara-negara kecil berdasarkan kesukuan dan kebangsaan, suatu pengalaman baru yang dipaksakan, jauh di luar jangkauan tradisi dan nalar umat Islam.

Mereka terkondisikan menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu Barat yang agressif untuk menguasai sumber daya alam dan merusak tradisi mereka, dan persaingan militer dengan negara-negara tetangganya.

Kisah tragis yang diciptakan Barat juga menimpa India yang kemudian melahirkan pecahan Pakistan dan Bangladesh. Dalam berbagai konflik itu sesungguhnya agama posisinya pinggiran, bahkan dimanipulasi, seperti dilakukan Amerika ketika masuk ke Afganistan untuk menghadang pengaruh Rusia.

Amerika mengerahkan tentara Pakistan dan umat Islam lain menggunakan dalih agama. Jadi, kata Amstrong, agama itu bagaikan cuaca yang bisa berubah-ubah. Setiap ada keributan, lalu ramai-ramai menunjuk biangnya adalah 'kambing hitam' agama untuk disembelih.

Gejala ini juga bisa dimaklumi, mengingat ketika terjadi perebutan kekuasaan, simbol dan sentimen agama sangat manjur sebagai sarana bertahan atau melancarkan serangan terhadap lawan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas