Suci Hati dan Jiwa di Bulan Ramadan
Selama berpuasa sebulan penuh dilatih untuk menyucikan iman dari bercampur kemusyrikan sehingga semua amal hanya dipersembahkan kepada Allah SWT.
Editor: Dewi Agustina
KH Dr Cholil Nafis
Ketua Komisi Dakwah MUI
BULAN Ramadan seringkali diucapkan oleh umat muslim Indonesia sebagai bulan suci.
Ya kerena di bulan Ramadan diperintah berpuasa untuk menyucikan diri dan jiwa.
Selama berpuasa sebulan penuh dilatih untuk menyucikan iman dari bercampur kemusyrikan sehingga semua amal hanya dipersembahkan kepada Allah SWT.
Makan, minuman dan pemenuhan syahwat kemanusiaan diubah sesuai ketentuan syariah.
Organ tubuh dilatih untuk selalu dalam keadaan suci dari perbuatan amarah dan dosa.
Bahkan saat dimaki pun orang yang berpuasa diimbau untuk menahan diri karena memurnikan diri yang sedang berpuasa.
Namun tingkatan suci yang paling tinggi adalah suci hati dan jiwanya dari kesibukan selain berdzikir kepada Allah SWT.
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghzali dalam kitab Mau'izhatul Mukminin ringkasan kitab Ihya' Ulumiddin membagi tingkatan suci pada empat tingkatan.
Baca: Ustaz Ku Wie Han Pelajari Semua Agama Tapi Memilih Jadi Mualaf karena Terpikat Surat Al Ikhlas
Pertama, suci secara zhahir dari najis, kotoran dan kotoran yang di tubuh.
Najis dapat diketahui terbagi tiga, yaitu najis mughallazhah (berat), najis mutawassithah (sedang) dan najis mukhaffafah (ringan).
Najis mughallazhah itu najisnya anjing dan babi. Najis muatwassithah adalah kotoran manusia, kotoran hewan dan bangkai.
Sedangkan najis mukhaffah adalah najis yang diringankan dari najis mutawassithah dengan cara dihilangkan baunya, rupanya, dan rasanya.
Kelebihan organ tubuh manusia berupa kuku, bulu dan kulit daging yang semuanya tidak najis tetapi kotorannya dapat dibersihkan, dengan cara dipotong atau dibuang.
Kedua, suci anggota tubuhnya dari perbuatan pidana dan dosa.
Seperti, mata tak melihat yang diharamkan, telinga tak mendengarkan yang dilarang oleh syariah, mulut tidak memaki, ghibah dan mengadu domba orang lain, tangan tak mengambil dan memegang sesuatu yang bukan haknya, dan tindakan lainnya tidak merugikan orang lain.
Baca: Pelayat Memadati Rumah Duka Ustaz Suhardi yang Meninggal saat Ceramah Tarawih di Masjid
Semua yang dilakukan oleh organ tubuh manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Karenanya, semuanya harus disucikan dari tindakan yang merugikan orang lain dan dosa kepada Allah SWT.
Ketiga, suci hati dari sifat hasud (iri hati), riya' (pamer), dan sombong.
Penyakit hati itulah yang sering menggerogoti dan mengotori kesucian hati dan merusak keikhlasan dalam semua amal baik yang dilakukan.
Hati adalah kunci dari semua tindakan karena semua amal tergantung pada niatnya.
Keempat, suci jiwa dari bisikan duniawi dan bisikan syaitan yang mengganggu keintiman dengan Allah SWT.
Inilah tingkatan para nabi dan rasul yang jiwanya hanya terpaut kepada Allah SWT.
Semua tingkatan kesucian yang diuraikan oleh Abu Hamid Al-Ghazali dapat diuraikan dengan cara mengikuti latihan kemanusiaan selama bulan Ramadan.
Suci secara zhahir dapat dilatih dengan cara banyak i'tikaf selama bulan puasa, terlebih pada sepuluh terakhir bulan Ramadan.
Baca: Ramadan dan Kesadaran Kebangsaan
Inilah latihan suci zhahir, sebab di antara syarat sahnya i'tikaf adalah suci dari najis dan hadats.
Suci anggota tubuhnya dari tindakan yang merugikan orang dan dosa dapat dilatih dengan puasa yang lebih sempurna, yaitu menahan amarah terhadap tindakan yang dilakukan oleh orang lain dan dosa yang akan diperbuat.
Sebab puasa yang dikehendaki oleh Allah SWT bukan hanya meninggalkan konsumsi dan syahwat tetapi juga meninggalkan ucapan kotor dan perbuatan keji.
Suci hati selama puasa dapat dilatih dengan cara puasa maksimal.
Bahwa hati seseorang yang berpuasa secara sempurna tidak cukup hanya meninggalkan konsumsi, syahwat, dan dosa.
Tetapi juga harus hatinya terpaut dan dzikir mengingat Allah SWT.
Bahkan saat berbuka kadang tak merasakan nikmat makan sepenuhnya karena hatinya merasa kurung utuh dan menyatu kepada Allah, sehingga merasa sedih dan khawatir puasanya tidak diterima oleh Allah SWT.
Simbol suci dalam diri manusia yang telah dicapainya diakhir pelaksanaan ibadah berupa kewajiban mengeluarkan zakat fitrah.
Bahwa manusia telah kembali suci dan fitri bagaikan anak yang baru dilahirkan.
Ia suci dari dosa, suci hati dan jiwanya meraih predikat diri sebagai hamba Allah SWT yang bertakwa.