Bagaimana Meraih Hidup yang Bermakna?
Bagi anak-anak yang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orangtuanya.
Editor: Dewi Agustina
Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
PADA awalnya mungkin sekali hidup ini kita jalani sekadar mengikuti dorongan insting, seperti perasaan lapar lalu menggerakkan untuk makan. Rasa kantuk mendorong mencari tempat tidur.
Haus membuat kita mencari minum. Tetapi ketika kebutuhan insting secara rutin sudah terpola ritme pemenuhannya, kita lalu bertanya lebih lanjut.
Untuk apa semua ini saya jalani?
Pasti kita menjalani hidup tidak semata didorong oleh kinerja insting.
Selalu saja kita dibuat gelisah oleh berbagai pertanyaan, seperti bagaimanakah meraih hidup yang bermakna (meaningful life)?
Setiap pribadi memiliki cara pandang dan penilaian masing-masing atas apa yang dilakukan atau hendak dilakukan.
Bagi anak-anak yang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orangtuanya.
Seorang pemain sinetron pemula di televisi mungkin saja prestasi yang paling bermakna dan menjadi obsesi adalah ketika rating penontonnya naik.
Ada lagi orang yang menempatkan rumah dan mobil mewah atau jabatan sebagai simbol dan ukuran keberhasilan hidup.
Apa iya begitu?
Filsafat hidup, keyakinan, dan ajaran agama akan selalu hadir menjadi rujukan bagi seseorang dan masyarakat untuk menentukan bagaimanakah hidup bermakna.
Baca: Perempuan 20 Tahun Tewas Diduga Minum Pil Aborsi, Sang Pacar Minta Perlindungan Polisi
Mereka yang menganut faham hedonisme berpandangan sukses dan kenikmatan hidup adalah ketika mampu memanjakan kenikmatan dan kelezatan fisikal-emosional.
Pendeknya hidup menjadi bermakna dan berharga ketika terpenuhi secara mudah kebutuhan dan kenikmatan badani.
Penganut faham hedonisme ada yang permanen sebagai keyakinan hidup, namun ada yang menjadi gaya hidup sementara dan mengalami perubahan di tengah jalan.
Profesi juga sangat berpengaruh bagi seseorang dalam membayangkan, mengejar, dan membangun hidup bermakna yang menjadi sumber kebanggaan dan kebahagiaan.
Seorang seniman, atlet, penulis, militer, dan profesi lainnya lagi masing-masing memiliki gambaran, dan memori peristiwa-peristiwa serta prestasi hidup yang dianggap paling bermakna bagi hidupnya.
Mereka yang memiliki kejelasan konsep tentang hidup bermakna dan merasa tertantang untuk meraihnya, hidupnya lebih dinamis dan terarah.
Seberapa besar makna hidup yang membanggakan seseorang berkaitan dengan seberapa besar perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya.
Agenda Hidup
Mereka yang hidupnya datar-datar saja tanpa perjuangan dan pengorbanan, mungkin tingkat kebahagiaan dan kebanggaan terhadap dirinya juga rendah, datar-datar saja.
Kebalikan dari penganut filsafat hidup hedonisme-materialisme adalah mereka yang menganut paham idealisme-spiritualisme.
Baca: Mantan Pengacara Setya Novanto Terdiam Dituntut 12 Tahun Penjara
Penganut paham kedua ini merasa hidup yang pantas dibanggakan dan bermakna itu bukannya terletak dalam terpenuhinya kenikmatan badani-duniawi dan mendatangkan self-glory, tetapi prestasi mendekati pada nilai-nilai kehidupan ideal yang berguna bagi sebanyak mungkin masyarakat.
Sejarah memiliki banyak catatan, siapa saja pemimpin bangsa dan dunia yang masuk kategori penganut filsafat dan idelogi hedonisme dan siapa masuk ketegori idealisme-spiritualisme.
Penghadapan kategori ini tidak mesti kelompok hedonis berarti kaya-raya, lalu pendukung idealisme adalah orang-orang yang miskin.
Faktor utama yang membedakan adalah sistem nilai yang diyakini dan diperjuangkannya.
Dari situ akan muncul perbedaan dalam membuat agenda hidup dan menentukan prioritas serta kesiapan untuk berkurban dalam mencapai target yang dipandang bermakna dan berharga bagi hidupnya.
Orang yang meyakini dan punya agenda memperjuangkan kejujuran dan kebenaran, mereka siap hidup sederhana demi memelihara hidup yang halal. Minimal untuk kebaikan dirinya.
Namun jauh lebih bagus lagi jika mereka juga mengajak dan menggerakkan orang lain agar menjalani hidupnya secara baik dan benar.
Banyak tokoh sejarah dunia maupun nasional mengajarkan, harga diri dan kebanggaan sebuah bangsa itu selalu dibangun dan dijaga oleh para pejuang idealisme-spiritualisme.
Meski jatah umur sama, namun produk yang dihasilkan berbeda. Pikiran, ucapan, tindakan dan akibat orang tidaklah sama.
Ada yang bangkrut, ada yang untung, ada yang merasa impas saja. Dalam bahasa Arab, kata umur seakar dengan kata makmur.
Jadi, setiap hari mestinya seseorang membuat prestasi menciptakan devisa, nilai tambah atau kemakmuran minimal buat dirinya sendiri.
Idealnya melebar untuk keluarga, masyarakat, negara dan bangsa.