Mutiara Ramadan: Beyond Ritualisme
Bahwa puasa sebagai ibadah yang berpahala banyak, membuka peluang pelakunya dibersihkan dosa-dosanya, dan memperoleh ampunan-Nya.
Editor: Dewi Agustina
Dr Mutohharun Jinan
Direktur Pondok Shabran UMS Surakarta
BERPUASA bagi kaum muslim pada umumnya lebih dilihat dari perspektif fikih ibadah. Yakni, berpuasa merupakan ibadah yang wajib ditunaikan dan meninggalkannya tanpa alasan yang dibenarkan syariat berarti berdosa.
Tentu saja pandangan terhadap puasa dalam pendekatan fikih ibadah demikian itu tidak salah.
Karena memang begitulah teks-teks suci Alquran dan Hadis menginformasikan tentang kemuliaan puasa Ramadan.
Bahwa puasa sebagai ibadah yang berpahala banyak, membuka peluang pelakunya dibersihkan dosa-dosanya, dan memperoleh ampunan-Nya.
Lebih dari itu, puasa Ramadan sejatinya juga merupakan medium yang diciptakan Tuhan, untuk mendidik manusia agar melakukan otokritik spiritual, keluar dari rutinitas, dan lepas dari bingkai struktural yang membelenggu.
Secara individual, puasa Ramadan mengajarkan agar manusia melakukan transformasi diri dengan memeriksa dan menilai diri sendiri apakah iman dan keberagamaannya sudah menembus batas-batas ritual menuju pengalaman obyektif.
Baca: Mutiara Ramadan: Pembawa Kayu Bakar
Sedangkan secara sosial puasa dapat juga diletakkan sebagai alat refleksi untuk dikais maknanya dalam perspektif moral dan keadilan sosial sesuai konteks ibadah itu dilakukan.
Dalam suasana sosio-politik menjelang pemilihan pemimpin saat ini, tepat sekali untuk melakukan obyektifikasi nilai-nilai dasar puasa Ramadan, antara lain sebagai kriteria memilih pemimpin yang pantas menakhodai negeri ini.
Nilai-nilai dasar puasa seperti empati, keberpihakan pada kaum lemah, kejujuran, dan kemampuan pengendalian diri cukuplah untuk mengukur sekaligus menentukan pilihan pemimpin.
Untuk itu, menilai kemampuan dalam pengendalian diri para pemimpin, dapat dilihat dari apakah mereka telah menunjukkan komitmen moral sehingga tidak terlibat dalam korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan tindak kejahatan lainnya.
Berbagai bentuk tindak kejahatan ini merupakan representasi dari sifat kerakusan dan kebalikan dari sifat pengendalian diri.
Dengan begitu, ibadah puasa yang dilakukan selain memenuhi kaidah fikih juga mengandung makna kontekstual dan berdaya gugah untuk perbaikan publik.
Transformasi nilai-nilai puasa harus terus diupayakan dalam berbagai aspek kehidupan agar ibadah ini semakin bermakna dan membekas dalam prilaku sehari-hari.
Baca: Andreas Hugo Perreira: Katanya OTT, kok Diminta Menyerahkan Diri?
Nabi Muhammad SAW memperingatkan, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta atau malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan" (HR. Bukhari).