Mutiara Ramadan: Pembawa Kayu Bakar
Tidak sedikit yang merasa seluruh kekuatan dan kelebihan yang dimiliki masih kurang atau belum cukup untuk mewujudkan apa yang diinginkan.
Editor: Dewi Agustina
Dr Mutohharun Jinan
Direktur Pondok Shabran UMS Surakarta
SETIAP orang memiliki naluri untuk mewujudkan keinginan, harapan, cita-cita, dan tujuan. Termasuk di dalamnya adalah naluri untuk meraih keuntungan dan keunggulan.
Berbagai cara dan jalan akan ditempuh demi terwujudnya semua keinginan, tujuan, untuk menunjukkan keunggulannya.
Segenap kekuatan dan kelebihan yang dimiliki dikerahkan seluruhnya, baik itu berupa modal kapital seperti harta benda dan uang, maupun modal sosial seperti jaringan, kolega dan pendukung.
Tidak sedikit yang merasa seluruh kekuatan dan kelebihan yang dimiliki masih kurang atau belum cukup untuk mewujudkan apa yang diinginkan.
Belum cukup untuk menundukkan pesaingnya dalam meraih kedudukan.
Untuk menutupi kekurangan itu bukannya mengambil kelebihan yang ada pada orang lain, tetapi mencari-cari dan menebarkan, serta mengungkap keburukannya.
Baca: Andreas Hugo Perreira: Katanya OTT, kok Diminta Menyerahkan Diri?
Diharapkan, dengan terungkap keburukan, kekurangan, kesalahan, dan kelemahan orang lain di mata publik, dalam waktu yang sama dirinya akan tampak lebih baik, lebih unggul, dan lebih kuat.
Mentalitas semacam itu yang sering kali dipertontonkan oleh mereka yang berebut atau bersaing dalam menduduki satu jabatan atau kedudukan tertentu.
Alquran memberi julukan kepada orang yang suka menebar keburukan, apalagi ghibah dan fitnah tersebut sebagai "pembawa kayu bakar".
Artinya orang siap sedia melakukan fitnah sehingga dapat menyulut api kemarahan dan adu domba.
Kejahatan pembaya kayu bakar disejajarkan dengan Abu Lahab, yang dalam Alquran digambarkan sebagai simbol keberpihakan pada kejahatan penentang kebenaran (QS. Al-Lahab [111]: 1-5).
Perlu disadari, sikap fitnah itu bermula dari kedengkian, satu sikap yang sering dianggap remeh atau disepelekan.
Padahal dengki itu sangat berbahaya karena sebagai sikap permusuhan psikologis yang sepihak dan disertai kebencian.
Orang yang menjadi korban kedengkian biasanya tidak mengetahui, malah terkadang datang dari orang dekat yang sehari-hari bersama.
Oleh karena itu, perbuatan dengki senantiasa diingatkan agar dijauhi. Orang beriman dianjurkan berlindung kepada Tuhan dari sifat dan serangan pendengki.
Dalam waktu yang sama kita juga dituntun berdoa agar terhindar dari sifat pendengki.
Baca: Sang Sopir Sebut Yudi Latif Bersama 4 Anaknya Tinggalkan Rumah Menuju Sukabumi Sejak Jumat Pagi
Begitu juga puasa yang ajaran pokoknya pengendalian diri dan kejujuran sangat mujarab untuk membina jiwa dari terjauh dari sifat dengki.
Mencari-cari, menguliti, dan menebar keburukan orang lain merupakan sikap dan perbuatan yang ringan, semudah membalik telapak tangan, terlebih di era teknologi informasi seperti sekarang ini.
Tepat sekali jika sekarang ini berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun ulama, maupun masyarakat sipil menggelorakan gerakan anti-hoaxs.
Berita hoaxs dan fitnah biasanya erat berkaitan dengan ideologi kebencian terhadap orang lain.
Ketidaksukaan cenderung mendorong seseorang berlaku tidak objektif, tidak berimbang, dan tidak adil.
Kebencian merupakan pintu masuk bagi ketidakseimbangan dalam memberikan informasi tentang kepribadian seseorang.
Sehingga sisi-sisi baik orang lain ditutup rapat-rapat, sedangkan sisi-sisi buruk dibuka seluas-luasnya ke publik.
Alquran memperingatkan, "Janganlah sekali-kali ketidaksukaanmu terhadap sesuatu kelompok, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"(QS. Al-Maidah [5]: 8).
Dalam situasi sosial-politik yang hingar bingar seperti di Indonesia saat ini sejatinya penuh jebakan yang dapat menjerumuskan.
Orang saling berebut kuasa menggunakan banyak cara, sehingga tidak mudah membedakan mana yang fitnah, ghibah, dan tausiah.