Pengertian Taqwa Sebagai Tujuan Akhir Dari Puasa Ramadan
Ketiga, al-baghyu. Yaitu berlaku dzalim, melanggar batas, atas tidak menepati hak yang sudah ditentukan baginya.
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Ayat tentang rentetan puasa Ramadhan muaranya adalah taqwa. Semuanya kegiatan untuk mengisi hari-harinya hendaknya juga dalam kerangka menuju ketaqwaan.
Lantas, bagaimana aplikasi taqwa dalam diri manusia? Inilah yang menjadi pembahasan dalam kultum singkat ramadhan yang disampaikan pada kuliah shubuh oleh Wakil Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Darussalam Gontor, Ustadz Dr. Mulyono Jamal, M.A. di masjid Jami’ UNIDA Gontor, 11 Mei 2019.
Beliau menjelaskan bahwa taqwa adalah satu hal yang besar dalam Islam. Sebab ia mencangkup banyak dimensi, yaitu; dimensi syariah atau Islam, dimensi Aqidah atau iman, dan dimensi Akhlak atau ihsan.
Untuk menjelaskan dimensi tersebut, Dosen senior yang juga mendapat amanah sebagai Ketua Ta’mir Masjid ini mengutip surat An-Nahl 90 yang berbunyi:
(۞ إِنَّ ٱللَّهَ یَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِیتَاۤىِٕ ذِی ٱلۡقُرۡبَىٰ وَیَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡیِۚ یَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan), memberi hak kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Menurut beliau, Ayat ini mencangkup seluruh akhlak islamiyah yang menjadi cerminan Islam dan Iman, sebagai buah ketaqwaan. Banyak hal menarik yang bisa dikaji darinya.
Tiga Perintah: Wujud Ketaqwaan
Pertama, ia sebagai mauidzah, agar kita selalu ingat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Karena keduanya memiliki konsekuensi berupa balasan di hari Akhir kelak.
Kedua, objek dalam ayat itu tidak disebutkan, dengan maksud bahwa yang menjadi sasarannya adalah semua manusia (yufīdu al-‘umūm). Menjadi logis, karena kandungannya memang tidak hanya untuk pribadi, tapi juga mencangkup kepentingan sosial secara luas.
Di dalamnya juga disebutkan tiga perintah utama sebagai wujud ketaqwaan hamba, yaitu bersikap adil, ihsan dan menunaikan hak orang lain.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama, beliau menjelaskan bahwa adil adalah implikasi dari tauhid. “Al-‘adlu huwa at-tawassuth baina al-ifrāth wa-t-tafrīth: ia bermakna tauhid, dalam artian menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, sebagai lawan dari dzalim. Maka keadilan tertinggi adalah beribadah kepada-Nya, sedangkan syirik merupakan kebalikannya (inna-s-syirka ladzulmun a’dzīm)”, tegas beliau.
Kata adil tersebut juga mengandung konsep terpenting dalam bidang sosial dan politik. Seperti petunjuk untuk pemimpin, dimana ia haruslah yang adil. Tentu kita ingat, imām adil, sebagaimana disebutkan oleh Rasululullah saw. merupakan salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan Allah swt di hari akhir. Sebab, adil ini menunjukkan integritas dan kredibilitas seorang muslim.
Perintah kedua, Ihsan. Dalam Hadis Nabi disebutkan bahwa makna ihsan adalah, “an ta’budallāha kaannaka tarāhu wa in lam takun tarāhu, fainnahu yarāka.” Sembahlah Allah seakan kau melihat-Nya, jika kau tidak melihat-Nya maka (yakinlah) ia melihatmu. Inilah gabungan dari Islam dan iman.
Termasuk ibadah apapun dengan maknanya yang luas. Seperti definisi yang diberikan Ibnu Taimiyah, segala perbuatan yang diridhai Allah. Maka ihsan bisa berarti ikhlas, memurnikan niat, yang menunjukkan tauhid rubūbiyyah seorang hamba, tidak mengharap kecuali kepada-Nya. Ibarat seorang pekerja yang selalu diawasi atasan atau mandornya, maka kerjanya tentu diusahakan yang terbaik, maksimal dan berkualitas. Makanya Allāh mencintai orang-orang muhsin.
Perintah ketiga; melaksanakan dan menunaikan hak orang terdekatnya, seperti sedekah, zakat, memperlakukan mereka dengan baik dan tepat. Termasuk di dalamnya adalah menyampaikan amanat kepada yang berhak diantara mereka.
Perhatikan Enam Hak
Begitu juga hak yang disebutkan Rasulullah dalam enam hal, sebagai contoh kongkritnya; 1) Bila engkau bertemu dengannya, ucapkankanlah salam kepadanya. 2) Bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya. 3) Bila dia minta nasihat, berilah dia nasihat. 4) Bila dia bersin lalu dia membaca tahmid, doakanlah semoga dia beroleh rahmat. 5) Bila dia sakit, kunjungilah dia. 6) Dan bila dia meninggal, ikutlah mengantar jenazahnya ke kubur. (HR. Muslim).
Jika kita menghendaki predikat taqwa, maka kita hendaknya berusaha untuk mengamalkan ketiganya dengan baik. Selain itu, Kesemua hal di atas juga harus diimbangi dengan tiga larangan yang Allah swt sebutkan setelahnya, yaitu:
Pertama, Fahsyā’. Ia adalah sifat yang buruk, keji, semua hal yang dilarang (muharramāt), dosa-dosa besar, seperti zina. Al-Qur’an menyebutnya dengan jalan yang buruk (sā’a sabīlā), dan pidananya besar, dicambuk 100 kali untuk pelaku zina yang belum menikah atau dirajam sampai mati bagi pelaku yang sudah menikah.
Kedua, Munkar. Yaitu semua hal yang diinkari oleh agama, bahkan dilarang, dan pelakunya diancam dengan hukuman tertentu, baik di dunia maupun akhirat. Termasuk di dalamnya syirik. Namun, Ustadz Mulyono menambahkan, jika fahsyā’ cenderung dilakukan secara sembunyi, maka munkar ini lebih bersifat terbuka, bisa disaksikan oleh orang lain.
Ketiga, al-baghyu. Yaitu berlaku dzalim, melanggar batas, atas tidak menepati hak yang sudah ditentukan baginya. Ketiga larangan inilah yang harus kita perhatikan dengan baik, untuk menyelaraskan dengan tiga perintah sebelumnya.
Inilah ayat yang sangat penting untuk direnungkan, sebagai dipaparkan oleh Ustadz Mulyono. Beliau juga menyebut dalam kultum singkat Ramadhan ini, kita sebagai “khaira ummatin”, hendaknya memaknai dan mengamalkannya dengan baik.
“Mari kita pegang benar ayat ini agar benar-benar mencapai derajat taqwa dan selalu mengingat Allah swt., begitu juga dalam kehidupan sosial kita sehari-hari”, demikian pesan beliau mengakhiri kuliah subuh yang menggugah hati jama’ah ini.
Dirangkum oleh: Muhammad Faqih Nidzom
Artikel ini telah tayang di unida.gontor.ac.id dengan judul: http://unida.gontor.ac.id/kultum-singkat-ramadhan-dimensi-taqwa-dalam-surat-an-nahl-90/