Mutiara Ramadan: Merawat Keutuhan Berbangsa
Reformasi yang awalnya diyakini akan mampu mengubah kondisi bangsa menjadi lebih baik, bebas dari korupsi dan nepotisme, kini keyakinan itu terkoreksi
Editor: Dewi Agustina
Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah
MASYARAKAT Indonesia yang plural ini memberikan warna dan rasa keindahan, namun kadang mengkhawatirkan munculnya konflik dan perpecahan.
Dilihat dari segi geografis dan demografis, Indonesia tampak seperti sebuah perahu besar yang penumpangnya begitu padat dan beragam.
Terdiri dari sekira 13 ribu gugusan pulau besar dan kecil dan didiami lebih dari 240 juta jiwa dan sekira 200 etnis berbeda, membuat Indonesia menjadi negara keempat terbanyak penduduknya di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Sayangnya, ibarat perahu besar saat ini terjadi kebocoran di sana sini yang menjadikan Indonesia kini jalannya limbung tidak jelas ke mana arahnya.
Reformasi yang awalnya diyakini akan mampu mengubah kondisi bangsa menjadi lebih baik, bebas dari korupsi dan nepotisme, kini keyakinan itu terkoreksi.
Korupsi malah merata. Gara-gara beda pilihan politik, rakyat jadi terbelah.
Setiap saat masyarakat dijejali hoax dan berita-berita yang mencemaskan, mulai dari pejabat korup, konflik internal partai, konflik ekses pemilu, konflik antar etnik dan agama, konflik internal agama, hingga penguasaan bangsa asing terhadap sumber-sumber migas dan nonmigas negeri ini.
Suasana batin yang galau itu tampaknya memang diproduksi oleh kelompok-kelompok yang tidak ingin bangsa ini maju dan damai.
Begitu menguatnya hoax yang memprovokasi emosi menjangkiti penduduk negeri sehingga bangsa Indonesia menjadi lelah, hampir-hampir tidak mampu lagi mengapresiasi secara cerdas melimpahnya potensi alam, fauna, flora, laut serta kebudayaannya.
Kita masih mengidap sindroma pascakolonialisme yang cenderung merasa rendah diri dan naluri bawah sadar untuk cepat marah dan memberontak, sehingga mengalahkan nalar sehat serta pemikiran visioner.
Sebuah bangsa besar senantiasa memerlukan pemimpin yang berpikir dan berjiwa besar.
Mari kita kenang dan hayati kembali sepenuh hati, bangsa dan negara Indonesia ini dirintis, diperjuangkan, dan diproklamasikan oleh putra-putra dan pejuang terbaik bangsa ini.
Mereka memiliki spirit, cita-cita luhur, dan tekad untuk menjadi bangsa yang berdaulat serta bermartabat dalam pergaulan dunia.
Inilah yang tersirat dalam judul Reinventing Indonesia, yaitu menemukan kembali cita-cita luhur, optimisme dan mimpi besar serta sikap negarawan para founding fathers.
Dalam kaitan ini, maaf, saya ragu, apakah para pimpinan parpol yang bernafsu ikut pemilu masih juga memiliki semangat dan tekad sebagaimana para pejuang dan pendiri bangsa dan negara ini?
Rasa Kebersamaan
Di tengah suasana pesimisme ini, mari kita bangun optimisme berbangsa dengan kekuatan gagasan, integritas dan kesediaan untuk berkurban demi rakyat.
Indonesaia yang kita impikan (the imagined Indonesia) adalah sebuah cita-cita moral, politik dan peradaban yang masih jauh berada di depan, bukannya warisan masa lalu yang sudah jadi dan selesai.
Dengan demikian, yang namanya Indonesia bukan sekadar sebuah realitas agung (grand reality) dalam wujud geografis dan bentuk formal sebuah negara, melainkan sebuah amanat dan cita kebudayaan serta peradaban yang harus selalu dijaga dan diperjuangkan.
Jadi, Indonesia jangan sekadar dipahami sebagai sebuah kata benda, melainkan kata kerja dan perjuangan sejarah yang dinamis, yaitu: meng-Indonesia.
Kita semua secara sadar mesti terlibat dalam proses menjadi Indonesia karena di samping sebuah rumah peradaban, Indonesia juga merupakan sebuah identitas dan jati diri.
Spirit itulah yang tercantum dalam Pancasila yang akhir-akhir ini kurang memperoleh apresiasi.
Saat ini sangat urgent untuk menemukan kembali grand solidarity, yaitu rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang mampu mensinergikan "keakukan", menuju "kekamian" dan "kekitaan" dalam rumah besar yang bernama Indonesia.
Munculnya sekian banyak parpol dan begitu kuatnya semangat otonomi daerah perlu diwaspadai jangan sampai malah menghancurkan bangunan "kekitaan" yang berujung pada "keakuan".
Di tengah suhu politik yang menghangat, mari kita temukan kembali dan pegang teguh komitmen dan cita-cita mulia mengapa Indonesia ini diperjuangkan lalu diproklamasikan.
Kita ganti tradisi kekerasan dan kemalasan dengan kedamaian, kecerdasan, dan kerja keras.
Kita wujudkan the imagined Indonesia sebagai sebuah civic nation sehingga nilai Pancasila bukan sekadar sebagai kontrak politik yang diposisikan sebagai ideologi negara, tetapi lebih merupakan living values dalam kehidupan birokrasi, sosial maupun politik.