Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Mutiara Ramadan: Kekuatan Bahasa Agama

Oleh mereka yang beriman, sapaan Tuhan diyakini dan dihayati sebagai curahan kasih sayang, jalan keselamatan, serta ikatan janji yang harus dipenuhi.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Mutiara Ramadan: Kekuatan Bahasa Agama
TRIBUN MEDAN/Riski Cahyadi
Santri Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah membaca AlQuran ketika melaksanakan tadarus massal pada Ramadan 1439 H, di Medan, Sumatera Utara, Senin (21/5/2018). Kegiatan yang diikuti sedikitnya 2.500 santri tersebut, merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan pada bulan Ramadan.TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI 

Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah

BAGI umat beragama, kitab suci dan figur pembawanya sama sekali tidak dilihat sekadar sebagai fakta dan figur historis, tetapi lebih mendasar lagi adalah narasi suci dan kehadiran simbolik dari Tuhan untuk menyapa manusia.

Oleh mereka yang beriman, sapaan Tuhan itu diyakini dan dihayati sebagai curahan kasih sayang, jalan keselamatan, serta ikatan janji yang harus dipenuhi oleh manusia.

Setiap kehadiran Rasul Tuhan selalu melahirkan sebuah komunitas yang sangat menjunjung tinggi kitab suci mereka sehingga melahirkan komunitas umat beriman.

Dalam kaitan ini, sangat tepat pengamatan Emile Durkheim, yang membedakan Rasul Tuhan dan dukun.

Dalam dunia perdukunan yang muncul adalah sederet klien, tetapi tidak melahirkan komunitas solid, yang saling mengenal.

Bahkan sebisa mungkin klien satu dengan yang lain saling menyembunyikan diri.

Ilustrasi puasa
Ilustrasi puasa (NET)
Berita Rekomendasi

Dalam perdukunan tidak ada mantra yang dibela secara emosional oleh para kliennya karena dunia perdukunan hanya memenuhi kepentingan duniawi.

Adapun kitab suci, disamping merupakan sumber informasi metafisis dan moralitas hidup, juga berperan sebagai tali pengikat yang abstrak, namun pengaruhnya amat riil bagi sebuah komunitas beragama.

Ketika umat Kristiani, misalnya, melagukan nyanyian suci atau umat Islam melakukan pembacaan tahlil beramai-ramai, di situ terdapat berbagai aspek signifikan.

Misalnya, secara sosiologis dan psikologis akan memperkukuh hubungan emosional antaranggota jemaah.

Keduanya, pembacaan ayat-ayat kitab suci itu, akan melahirkan daya mantra.

Maksudnya mampu membangkitkan emosi, imajinasi, dan intuisi tentang kehadiran Tuhan dalam diri dan jemaah.

Oleh karena itu, signifikansi dari upacara tahlilan dan doa-doa bersama tidak harus terletak pada pemahamannya, tetapi juga pada aspek pemeliharaan komitmen moral dan loyalitas kelompok.

Santri Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah membaca AlQuran ketika melaksanakan tadarus massal pada Ramadan 1439 H, di Medan, Sumatera Utara, Senin (21/5/2018). Kegiatan yang diikuti sedikitnya 2.500 santri tersebut, merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan pada bulan Ramadan.TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI
Santri Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah membaca AlQuran ketika melaksanakan tadarus massal pada Ramadan 1439 H, di Medan, Sumatera Utara, Senin (21/5/2018). Kegiatan yang diikuti sedikitnya 2.500 santri tersebut, merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan pada bulan Ramadan.TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI (TRIBUN MEDAN/Riski Cahyadi)

Akan jauh lebih efektif lagi jika religious gathering itu diiringi musik mistikal serta pembahasan terhadap pesan tauhid dan moral yang dikandungnya.

Bagi umat beragama yang masuk dalam kategori "ahlul kitab", teks kitab suci dan berbagai penafsirannya dihayati sebagai suatu mata air pencerahan Ilahi, yang kemudian oleh umatnya ditampung dalam sebuah bendungan dalam bentuk etika sosial dan tata cara ritual, yang dihidupkan secara terus-menerus oleh komunitasnya melalui salat jamaah, pengajian.

Jadi konsep masjid dan rumah ibadah lainnya bukan terletak pada bangunan fisiknya, melainkan pada setting psikologis-teologis dan mistikal dari para anggota jamaahnya.

Itulah sebabnya di berbagai kantor atau hotel, ketika waktu salat Jumat tiba seketika itu juga dimunculkan masjid.

Ilustrasi
Ilustrasi (google.com)

Bagi orang yang beriman, sebutan "Tuhan" dalam teks kitab suci bukan sekadar bunyi dari deretan huruf dan bukan pula objek analisis spekulatif sebagaimana dalam tradisi filsafat.

Pucuk Gunung Es

Meskipun sama-sama menyebut kata "Tuhan", getaran batin dan asosiasi epistemologisnya pasti akan berbeda pada setiap individu, terlebih lagi jika yang mengucapkan itu berbeda-beda agama.

Hal ini dikarenakan antara lain teks dan ekspresi kitab suci sesungguhnya juga berfungsi untuk mewadahi dan menyublimasi cita-cita dan komitmen moral orang beriman.

Ketika kata "Allah", misalnya, diucapkan oleh umat Islam, Dia tidak lagi dilihat sebagai "person" asing di luar, melainkan Allah yang hidup dan hadir, menyaksikan semua tarikan napas, kata yang keluar, serta tindakan.

Dengan kata lain, bahasa dan ekspresi keagamaan adalah manifesto komitmen moral dan iman dari orang-orang yang beragama secara saleh.

Itulah sebabnya acara konversi, agama dimulai dengan ikrar kesaksian.

Ilustrasi Salat Witir
Ilustrasi Salat Witir (ummi-online.com)

Ungkapan keagamaan bagaikan pucuk gunung es di lautan yang di permukaan kecil, tetapi bagian bawahnya besar sehingga kapal bisa karam jika menabraknya.

Dalam kaitan ini, bisa dimaklumi ketersinggungan umat beragama kalau bahasa agama dilecehkan karena di dalam dan melalui teks-teks keagamaan itu artikulasi dan cita-cita keselamatan hidup ditambatkan.

Jadi, mengapa figur Nabi Muhammad SAW jika dilecehkan bisa memancing reaksi keras?

Satu alasannya karena bagi orang beriman Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai manifestasi jalan keselamatan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas