Sejarah Pengelolaan Baitul Maal Di Masa Bani Umayyah
Salah satu yang paling prinsipil adalah terkait dengan pengelolaan Baitul Maal yang berada pada kekuasaan tunggal sang Khalifah.
Editor: Husein Sanusi
Oleh: Slamet Tuharie
Hiruk pikuk kondisi transisi pemerintahan dari Khulafaur Rosyidin kepada Bani Umayyah menimbulkan berbagai gejolak sosial dan politik. Hal ini juga mempengaruhi terhadap pola pengelolaan Baitul Maal yang menjadi tidak sehat.
Jika pada masa Ali Ibn Abi Thalib manajemen kelembagaan Baitul Maal telah dikembalikan seperti yang telah diinisiasi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab, maka kondisi Baitul Maal pun berubah ketika dipegang oleh Bani Umayyah.
Salah satu yang paling prinsipil adalah terkait dengan pengelolaan Baitul Maal yang berada pada kekuasaan tunggal sang Khalifah.
Tentu saja ini berbeda dengan model pengelolaan Baitul Maal di masa Umar Ibn Khattab yang memisahkan antara peran pemerintah sebagai pengawas dan pengambil kebijakan dengan pelaksana administrasinya.
Bahkan, di masa Bani Umayyah—selain Umar Ibn Abdul Aziz—harta yang terdapat di Baitul Maal diperlakukan sebagai harta pribadi Khalifah dan berhak digunakan tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyatnya.
Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan tanah negara yang dimiliki oleh pribadi-pribadi keluarga Khalifah.
Namun, di luar dari berbagai kebijakan yang kontroversial terkait Baitul Maal yang ada di zaman Bani Umayyah, kita juga perlu memberikan apresiasi terkait dengan berbagai prestasi yang ada.
Contohnya adalah kebijakan pengangkatan qadi atau hakim sebagai sebuah profesi di masa Muawwiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M). Juga kebijakan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M) yang menerbitkan mata uang baru menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti mata uang Byzantium dan Persia, juga penetapan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan.
Selain itu, di masa kepemimpinan Walid Ibn Abdul Malik (705-714 M), dana negara yang terdapat di Baitul Maal juga digunakan untuk pembangunan panti asuhan untuk orang-orang cacat, pembangunan infrastruktur yang berupa jalan raya sebagai penghubung antara wilayah, pembangunan masjid, gedung-gedung pemerintah dan bahkan pabrik. Ini yang kemudian bisa disebut bahwa penggunaan dana Baitul Maal tidak selalu bersifat konsumtif-karitatif, namun juga produktif.
Perubahan terkait dengan manajemen kelembagaan Baitul Maal dilakukan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M) yang ibunya adalah cucu dari Umar Ibn Khattab.
Ia mengawali kebijakannya terkait pengelolaan Baitul Maal dengan berupaya membersihkan Baitul Maal dari pemasukan harta yang tidak halal.
Tak hanya itu, Umar Ibn Abdul Aziz juga membuat perhitungan dengan para Amir (setingkat Gubernur) untuk kemudian mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah kepada Baitul Maal.
Bahkan, sebagai bentuk keseriusannya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, Umar Ibn Abdul Aziz memulainya dengan mengembalikan harta milik pribadinya yang bersumber dari tanah milik negara. Salah satunya adalah tanah yang terdapat di perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Makkah, yang sejak Rasulullah saw wafat dijadikan milik negara. Namun, pada masa Khalifah ke-4 Bani Umayah, Marwan Ibn Hakam (684-685 M), harta tersebut dimasukkan sebagai milik pribadi Khalifah dan mewariskannya kepada keturunannya.