Mutiara Ramadan: Sujud dan Berdiri
Menghidupkan malam dengan salat tahajud, sangat dianjurkan setelah pada siang hari kaum muslim wajib menjalankan ibadah puasa.
Editor: Dewi Agustina
Dr Mutohharun Jinan MAg
Direktur Pondok Shabran UMS Solo
DALAM Alquran disebutkan orang disayang Allah Yang Maha Kasih dan mendapat pahala besar adalah mereka yang mau mengingat Allah, bersujud dan berdiri pada malam hari.
"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka." (QS Al-Furqan/25: 64).
Sujud dan berdiri adalah dua gerakan dalam ibadah salat.
Sujud merupakan gerakan ke bawah yang serendah-rendahnya. Sedangkan berdiri adalah gerakan tegak ke atas setingi-tingginya.
Orang-orang yang sujud dan berdiri (salat tahajud) di waktu malam inilah yang disebut orang menghidupkan malam.
Menghidupkan malam dengan salat tahajud, khususnya pada bulan Ramadan sangat dianjurkan setelah pada siang hari kaum muslim wajib menjalankan ibadah puasa.
Salat tahajud menjadi ibadah tambahan (nafilah) bagi kaum muslim untuk meningkatkan kualitas keimanannya, dan dapat mengangkatnya pada kedudukan yang mulia.
Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, salat tahajud berbeda dengan salat-salat lainnya yang dikerjakan pada siang hari.
Tahajud dilaksanakan pada malam hari, dan yang paling utama pada sepertiga malam terakhir, di saat kebanyakan orang tidur pulas.
Namun juga dapat dilaksanakan setelah isya atau salat tarawih sebagaimana kebanyakan dilakukan kaum muslim.
Secara khusus Tuhan menggembirakan hamba-Nya yang gemar tahajud.
Tahajud dapat mengantarkan pada pribadi yang unggul, mengangkat manusia pada tempat yang mulia.
"Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS Al-Isra/17: 79).
Kemuliaan bagi orang yang salat secara ikhlas dan khusuk di dunia adalah ketenangan hati.
Salat yang berisi doa-doa itu pada dasarnya untuk mengingat Allah dan hanya melalui mengingat Allah hati menjadi tenang.
Allah sumber dan yang membawa ketenangan hati manusia, karena itu manusia diperintah supaya mendirikan salat untuk mengingat Dia.
Intensitas kebermaknaan ibadah salat akan lebih terasa jika pelaku menyadari ibadah itu sebagai kebutuhan, bukan kewajiban semata.
Secara psikologis aktivitas yang didorong oleh kebutuhan akan memberi penekanan pada isi dan substansi.
Menempatkan salat sebagai kewajiban saja akan menekankan pada aspek formalitas salatnya.
Isyarat Kedekatan
Salat di waktu malam yang sunyi merupakan aktivitas perjumpaan jiwa raga kepada Allah.
Kedalaman makna perjumpaan itu tergantung pada kesungguhan mengharap kasih Allah.
Karena dalam agama diajarkan Allah menguasai alam raya dan menguasai kehidupan manusia, baik kehidupan lahir maupun batin.
Bagi kaum muslim malam hari merupakan waktu untuk melakukan pengaduan atas prestasi dosa yang telah dilakukan.
Ada sebagian hamba-hamba-Nya yang sedikit sekali tidur di waktu malam dan di waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah (QS Al-Dzariyat: 17-18).
Inilah yang sesungguhnya hakekat qiyamullail, ibadah yang dijaminkan Allah membawa kemuliaan martabat manusia.
Seorang muslim dalam salatnya menghimpun segala bentuk dan cara pengakuan, penghormatan, serta pengagungan yang dikenal umat manusia.
Dalam salat ada isyarat penghormatan menggunakan tangan, berdiri tegak, menunduk, rukuk, sujud, puji-puji, doa, dan pengharapan.
Dalam ayat di atas kata sujud lebih dahulu disebut dari pada berdiri, padahal dalam salat berdiri dulu baru sujud.
Hal itu untuk menunjukkan pada saat sujud mengisyaratkan betapa dekatnya manusia kepada Sang Pencipta.
Betapa lemahnya manusia di hadapan Tuhannya sehingga tumbuh sifat rendah hati.
Karena itu salat harus dilakukan secara khusuk penuh ketulusan kepada-Nya.
Tidak boleh ada canda tawa, tidak juga dibenarkan ada gerakan selain gerakan salat.
Kekhusukan dapat diperoleh secara lebih sempurna pada malam sunyi di saat kebanyakan orang tertidur nyenyak.
Ibadat salat yang baik, dalam arti akan dapat memberikan efek ruhaniah kepada pelakunya, adalah salat yang memiliki kekhusyukan.
Kualitas atau kondisi khusyuk sendiri merupakan gambaran sikap batin yang sangat sulit dikontrol atau dikendalikan.
Itulah sebabnya, kemudian khusyuk tidak termasuk dalam pembahasan fiqih untuk menjadi syarat dan rukun sah salat.