Nyadran: Tradisi Ziarah Makam Jelang Ramadhan, Tips Tetap Aman Saat Covid-19
Nyadran yaitu tradisi tahunan ziarah ke makam menjelang bulan Ramadhan. Beserta sejarah dan Tips agar tetap aman saat nyadran
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Nyadran merupakan tradisi tahunan ziarah ke makam yang secara turun-temurun telah dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadhan.
Nyadran biasanya dilakukan saat bulan Syaban dalam kalender Hijriah.
Dalam penanggalan Jawa, nyadran biasanya dilakukan sebulan sebelum bulan puasa pada tanggal 10, 15, 20, dan 23 Ruwah.
Dikutip dari Tribunnews.com pada Jumat (26/3/2021), istilah Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia, seperti orang tua, kakek, nenek, tokoh pendiri kampung, wali, dan lainnya.
Dalam budaya Jawa, mendoakan orang tua, kakek, nenek, dan para leluhur merupakan bentuk penghormatan.
Saat berkunjung ke makam, orang-orang membersihkan dan menaburkan bunga ke makam keluarga.
Baca juga: Mengenal Nyadran, Tradisi Unik Masyarakat Jawa Menyambut Bulan Ramadan
Baca juga: Pamit Hendak Ziarah ke Makam Kakek, Seorang Remaja Ditemukan Tewas di Parit, Diduga Dibegal
Pendapat lain dari sejarawan, Heri Priyatmoko, menerangkan nyadran merupakan momen merangkai sejarah keluarga dan juga lingkungan.
Dari mana seseorang berasal, baik tempat kelahiran seseorang maupun runutan garis keturunannya.
"Ya nyadran adalah momentum untuk merangkai sejarah keluarga dan kampung halaman yang biasanya diingat kembali pada saat nyadran (mudik)."
"Dengan nyadran ini, orang kembali membasuh ingatan sejarah lokal (kampungnya), dimana ia lahir dan dibesarkan," kata Heri saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Kamis (25/3/2021).
Heri juga menambahkan, nyadran atau berziarah ke makam membuat seseorang paham akan lingkungnnya.
Tradisi makam mempertemukan garis keturunan antara satu keluarga dengan keluarga lain (tetangga).
Mereka bertemu untuk saling mengulang sejarah di mana mereka pernah memiliki pengalaman bersama sebelumnya.
"Dalam kompleks kuburan, makam satu dengan makam lainnya mungkin tidak punya pertalian saudara, tapi mengingatkan kembali sejarah lokal-wilayah desa tersebut."
"Bahwa mereka adalah tetangga, yang pernah punya pengalaman bersama dalam memaknai ruang kampung," tambah Heri.
Sehingga nyadran mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu.
Baca juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 1442 H di Kota Makassar Beserta Bacaan Niat Puasa
Baca juga: Resep Membuat Terang Bulan yang Mudah dan Simpel, Inspirasi Menu Buka Puasa Ramadhan
Akulturasi Budaya dan Agama
Sebelum agama Islam diyakini masyarakat, nyadran dipercaya berawal dari akulturasi antara agama Hindu dan Budha.
Dilansir iain-surakarta.ac.id pada Kamis (25/3/2021), Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha yang telah ada sekitar abad 15.
Dalam perjalanannya, kegiatan nyadran akhirnya mengalami akulturasi, baik dengan budaya masyarakat Jawa juga dengan agama Islam.
Akulturasi semakin kuat ketika Walisongo menyebarkan agama Islam dengan mengakultutasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam.
Sebelumnya kegiatan ini syarat dengan pemujaan roh, lantas oleh para Walisongo kegiatan ini lebih ditujukan sebagai sarana berdoa kepada yang Tuhan Yang Maha Esa.
Lambat laun, kegiatan akulturasi budaya dan agama ini kini telah menjadi aktivitas tetap bagi masyarakat Jawa.
Terdapat kesamaan dari kedua akulturasi tersebut, yaitu sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur.
Namun, tujuan dan cara yang dilakukan telah jauh berbeda.
Pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya, sedangkan Walisongo mengakulturasikan nyadran dengan doa-doa dari Al-Quran.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani, IAIN Surakarta/Rohim Habibi)