Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Masjid Jami Al-Ma'mur Peninggalan Maestro Lukis Raden Saleh, Dibangun Bersama Warga Cikini Binatu

Masjid itu merupakan peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Masjid Jami Al-Ma'mur Peninggalan Maestro Lukis Raden Saleh, Dibangun Bersama Warga Cikini Binatu
Tribunnews.com/Larasati Dyah Utami
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berwisata religi di Jakarta, disarankan untuk menilik salah satu masjid tertua berada di Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat bernama Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini.

Masjid itu merupakan peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.

Ketua DKM Masjid Jami Cikini Al Ma'mur, Haji Syahlani (72), bercerita bahwa Sjarif Boestaman merupakan orang Semarang yang lahir sekitar tahun 1811 dan pernah tinggal di kawasan tersebut.

"Beliau itu seorang pelukis dari Indonesia. Beliau kerja sama orang Belanda. Untuk memperdalam ilmunya beliau mengembara ke Eropa selama kurang lebih 10 tahun. Pulang dari Eropa lalu beli tanah disini, sempat tinggal disini dan beliau mengizinkan waga disini untuk membuat musala di tanahnya," ujar Syahlani kepada Tribunnews, Jumat (17/4/2021).

Haji Syahlani lalu menceritakan sejarah awal mula tempat ibadah tersebut berdiri.

Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890. (Tribunnews.com/Larasati Dyah Utami)

Awal mulanya bangunan masjid itu berupa surau atau musala yang saat ini menjadi asrama perawat tak jauh dari Masjid Jami Al-Ma'mur saat ini.

Berita Rekomendasi

Haji Syahlani mengatakan Surau atau musala tersebut dibangun sekitar tahun 1840, sebelum akhirnya dipindah pada tahun 1890 di lokasi sekarang.

"Orang disini kalau mau salat langsung lari ke sana, karena saat zaman penjajahan orang takut (ibadah)," ujarnya.

Baca juga: Masjid Ramlie Musofa Beri Fasilitas Gratis untuk Foto Prewedding dan Ijab Qobul

Namun sekitar tahun 1906 tanah milik Raden Saleh dijual kepada Yayasan Emma atau Koningen Emma Ziekenhuis milik seorang Belanda yang merupakan yayasan pemilik rumah sakit dan persatuan gereja.

Namun dengan syarat dan dengan penegasan bahwa masjid yang ada di sana tidak boleh dibongkar, kendati ada sengketa tanah setelahnya karena Yayasan Eamma mengingkari perjanjian dan tidak adanya bukti surat yang otentik pengurus masjid saat itu.

"Dulu penduduknya masih sedikit, ini (Jalan Raden Saleh) namanya Cikini Binatu dan sekarang namanya Jalan Raden Saleh II. Sebelumnya juga namanya Lan Alatas atau Jalan Tuan Tanah," lanjut Haji Syahlani.

Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890. (Tribunnews.com/Larasati Dyah Utami)

Setelah masjid dipindah di lokasi saat ini, penduduk sekitar berkembang, sehingga kapasitas masjid perlu ditambah.

Dipelopori oleh Haji Agus Salim (Alm), untuk mengembangkan masjid masyarakat Cikini Binatu berinisiatif mengumpulkan dana dengan bergotong royong.

Masyarakat yang beragama Islam yang ada di kawasan Cikini Binatu dulu diwajibkan bersedekah beras, dikumpulkan untuk dijual dan dibelikan batu bata untuk pembangunan aasjid.

"Beras pada waktu itu mahal, jika dijual sangat berharga seperti emas," ujar Haji Syahlani.

Baca juga: Masjid Istiqlal Makin Ramah untuk Kaum Disabilitas, Tersedia Lift dengan Kaca Transparan

Warga Cikini Binatu

Kawasan sekitar Jalan Raden Saleh saat ini, dulunya merupakan tempat tinggal warga lokal yang dikenal dengan nama warga Cikini Binatu.

Bukan tanpa sebab, warga Cikini saat itu diberi julukan Cikini Binatu karena sebagian besar profesinya adalah tukang cuci baju para saudagar Belanda yang menyerahkan urusan cuci mencuci kepada mereka.

"Masyarakat di sini yang menjadi tukang cucinya, makanya dibilang Binatu," ujar Haji Syahlani.

Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890. (Tribunnews.com/Larasati Dyah Utami)

Warga Cikini Binatu biasa mencuci pakaian para saudagar Belanda itu di Sungai Ciliwung yang tepat berada di samping Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini.

Haji Syahlani bercerita dahulu Sungai Ciliwung airnya masih sangat jernih hingga orang bisa melihat dasar sungainya, tidak ada sampah pelastik maupun kotoran lainnya.

"Dulu tidak ada plastik, tidak ada daun, daun yang jatuh juga langsung mengalir dan hilang. Sekarang sering banjir karena plastik-plastik itu. Dipelihara dengan baik oleh warga sini," cerita laki-laki kelahiran 1948 itu.

Baca juga: Riwayat Masjid Jami Cikini dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto hingga KH Agus Salim Melawan Belanda

Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini selesai dibangun tahun 1351 Hijriah atau tahun 1932 Masehi.

Sejak awal berdiri bentuknya sudah seperti ini, hanya beberapa kali direnovasi tanpa mengubah wujud aslinya.

Masjid ini memiliki sekitar 7 pintu utama, dengan 10 jendela yang kesemuanya asli memakai kayu jati.

Dari Menara Masjid, dulu orang bisa melihat Monas secara langsung hingga lapangan IKADA tempat Presiden Soekarno berpidato, karena belum banyak gedung tinggi.

Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890.
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini, peninggalan maestro lukis Sjarif Boestaman atau yang dikenal dengan Raden Saleh yang dibangun sekitar tahun 1890. (Tribunnews.com/Larasati Dyah Utami)

Menara Masjid digunakan muadzin untuk mengumandangkan adzan jika masuk waktu salat tanpa pengeras suara.

"Dulu speaker belum ada. Jadi (muadzin) teriak langsung memakai corong kaleng agar sampai kedengaran di kampung-kampung," ujarnya.

Masjid ini juga menjadi tempat berkumpulnya para tokoh nasional dan alim ulama setempat beragam zaman.

Mulai dari HOS Tjokroaminoto hingga KH Agus Salim Turut andil dalam sejarah masjid ini.

Bahkan presiden keempat Indonesia, Abdurahman Wahid alias Gus Dur diceritakan Syahlani pernah beberapa kali beribadah di sana.

Eks Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah beribadah di sana.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas