Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Masjid Jami Al-Ma’mur Cikini, Dibangun Tahun 1890 dan Cerita tentang Pengkhianatan Kolonial Belanda

Setelah pertentangan mereda, pada 1926 masyarakat Cikini Binatu bahu membahu melakukan pemugaran bangunan masjid.

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Masjid Jami Al-Ma’mur Cikini, Dibangun Tahun 1890 dan Cerita tentang Pengkhianatan Kolonial Belanda
Larasati Diah Utami/Tribunnews.com
Masjid Jami Al-Makmur Cikini 

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mengulik sejarah Masjid Jami Al-Makmur Cikini yang merupakan peninggalan maestro lukis Indonesia Sjarif Boestaman atau yang dikenal Raden Saleh ternyata tidaklah mulus sejak awal dibangun.

Awalnya Masjid yang dibangun pada tahun 1890 itu merupakan pindahan dari sebuah Surau yang dibangun oleh Raden Saleh sekitar tahun 1860 di samping rumah kediamannya.

Ketua DKM Masjid Jami Cikini Al Ma'mur, Haji Syahlani (72), bercerita sepeninggalan Raden Saleh, kepemilikan masjid dan tanah di sekitar masjid jatuh ke Sayed Abdullah bin Alatas.

Baca juga: Makassar Mendunia, Masjid 99 Kubah Muncul di Surat Kabar Jerman & Jadi Daya Tarik Perayaan Ramadan

Masjid dan tanah ini kemudian dijual kepada sebuah yayasan yang bernaung di bawah pemerintahan kolonial Belanda bernama Yayasan Emma atau dalam Bahasa Belanda Koningen Emma Ziekenhuis.

Ketua DKM Masjid Jami Cikini Al Ma'mur, Haji Syahlani (72),
Ketua DKM Masjid Jami Cikini Al Ma'mur, Haji Syahlani (72), (Larasati Diah Utami/Tribunnews.com)

“Raden saleh menjual tapi hanya separuh dan separuhnya diwakafkan untuk masjid,” kata Syahlani kepada Tribunnews, Jumat (18/4/2021).

Yayasan Emma berencana membangun rumah sakit di kawasan tersebut

Baca juga: Kisah Habib Kuncung, Ulama Asal Hadramaut Yang Meninggalkan Harta dan Siarkan Islam di Jakarta

Berita Rekomendasi

Kedua belah pihak menyepakati penjualan tanah peninggalan Raden Saleh dengan perjanjian harga tanah dikurangi setengah, tapi dengan catatan masjid tidak digusur.

Penjualan tersebut akhirnya dilakukan dan disepakati kedua pihak, namun pemerintah kolonial Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan ingin menggusur masjid.

“Yang jadi masalah saat itu, begitu diserahkan tidak ada secarik kertas (perjanjian hitam diatas putih),” kata Haji Syahlani.

Masjid Al-Ma’mur yang sudah berdiri saat itu, pada sekitar tahun 1947 diminta dibongkar oleh Yayasan Emma

Mendengar hal tersebut warga Cikini Binatu berupaya keras mencegahnya.


Mereka melakukan perlawanan terhadap sikap arogansi pemerintah kolonial Belanda.

Perlawanan tersebut mendapat empati dari berbagai tokoh nasional yang tergabung dalam organisasi PSII atau Persatuan Syarikat Islam Indonesia yang lambangnya dijadikan kaligrafi di muka Masjid Jami Al-Ma’Mur hingga saat ini.

Tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, KH. Mas Manshur dan lainnya bergabung bersama masyarakat untuk mempertahankan bangunan Masjid Al-Ma’mur.

“Tanah ini adalah tanah yang sudah diwakafkan Raden Saleh,” tegasnya.

“Atas perjuangan beliau-beliau, akhirnya kita dibuatkan sertifikat. Itu sejarahnya daripada tanah ini,” ujarnya.

Setelah pertentangan mereda, pada 1926 masyarakat Cikini Binatu bahu membahu melakukan pemugaran bangunan masjid.

Mereka mengumpulkan segenggam beras untuk kemudian dijual yang mana uang hasil penjualan beras lalu dikumpulkan untuk membiayai pemugaran.

Setelah beberapa kali mengalami pemugaran, Masjid Al-ma’mur lalu diresmikan oleh Agus Salim pada 1932.

Pada tahun 1962, bagian depan masjid diperlebar dengan bentuk menyerupai bangunan asli Masjid Al-Ma’mur yang lama.

Masjid ini memiliki sekitar 7 pintu utama, dengan 10 jendela yang kesemuanya asli memakai kayu jati dan dapat menampung 600 hingga 700 jamaah.

Syahlani bercerita, dari Menara Masjid, dulu orang bisa melihat Monas secara langsung hingga lapangan IKADA tempat Presiden Soekarno berpidato, karena belum banyak gedung tinggi.

Menara Masjid digunakan muadzin untuk mengumandangkan adzan jika masuk waktu shalat tanpa pengeras suara.

“Dulu speaker belum ada. Jadi (muadzin) teriak langsung memakai corong kaleng agar sampai kedengaran di kampung-kampung,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas