Bupati Sleman Harus Rela Tidur 10 menit dalam Sehari
Karena kesibukannya yang luar biasa, orang nomor satu di Sleman ini tidak sempat memejamkan mata seperti biasanya.
Editor: Tjatur Wisanggeni
SLEMAN, TRIBUNNEWS.COM – Karena kesibukannya yang luar biasa, orang nomor satu di Sleman ini tidak sempat memejamkan mata seperti biasanya.
“Saya tidur cuma 10 menit, itu saja hanya di dalam mobil pas mau meninjau pengungsi,” kisah Sri Purnomo saat ditanya Tribun Jogja, Jumat (19/11/2010), usai melakukan Jumpa pers tentang penurunan zona aman Merapi.
Pria yang kerap disapa Pak Sri ini menuturkan pengalamannya selama masa tanggap darurat bencana Merapi. Tak boleh lengah sedikitpun, itu yang menjadi kunci. Karena ia yang menjadi sorotan utama berbagai media massa.
Bagaimana pun juga dirinya harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan warga Sleman. Namanya mulai dikenal sejak Merapi berstatus Waspada. Dirinya harus siap dalam kondisi apa pun.
“Saya harus siap bekerja dengan tidak dibatasi waktu,” ucap pria kelahiran Klaten 22 Februari 1961.
Bahkan, saat puncak Merapi mengeluarkan awan panas pada 5 November yang lalu, Bupati yang baru saja dilantik bersama pasangannya Yuni Satia Rahayu pada 20 Agustus 2010 lalu ini tidak mengenal kata istirahat. Tangannya tak pernah lepas dengan pesawat handy talkie (HT), untuk memonitor keadaan.
Dirinya harus waspada dan tanggap untuk mengerahkan timnya untuk koordinasi melakukan pemindahan pengungsi ke barak Stadion Maguwoharjo. Untungnya, timnya dibantu tim dari BNPB dan relawan lainnya.
Ditanya, resep dia mampu menjaga kondisi badannya, pria 49 tahun ini mengaku harus punya manajemen diri. Bila dirinya mengalami kelelahan, kalau badan sudah terasa capek dan lelah, ia memilih untuk istirahat, daripada badannya ambruk.
“Saya tidak memforsir diri, kalau badan sudah terasa lelah maka saya istirahat, meski cuma 10 menit di dalam kendaraan,” jelasnya. Itu ia lakukan agar kondisi di pagi harinya bisa lebih fresh, dan bisa konsentrasi dengan pekerjaan.
Untunglah, sang istri tercinta Hj Kustini Sri Purnomo, paham akan kondisi dirinya. Bersama organisasi PKKnya juga langsung terjun ke lokasi pengungsian untuk memberikan bantuan.
“Istri saya itu juga orangnya mau bekerja, jadi dalam kondisi apapun dia siap,” jelas bapak 3 orang anak.
Karena kesibukannya dirinya harus merelakan hanya dua hari sekali baru bisa bertemu dengan ketiga buah hatinya, Aviandi Okta Maulana, Nudia Ramanda Pangesti, dan Raudi Akmal.
Berkat dukungan keluarganya, dirinya mendapatkan support sehingga mampu tetap bertahan. "Keluarga itu bagi saya sangat penting, tanpa adanya keluarga, tenaga saya tidak mungkin sekuat sekarang," katanya bangga.
Selain support keluarga, ia juga terpacu oleh semangat para relawan yang bekerja tanpa pamrih.
“Kalau melihat para tim evakuasi dan relawan yang bekerja keras, saya juga harus bisa mengimbangi kerja mereka,” ucap dia.
Meski zona bahaya sudah diturunkan dan pengungsi pun sudah berkurang menjadi 30 %, namun dirinya mengaku belum saatnya ia istirahat.
Di akhir perbincangan Pak Sri mengatakan masih menunggu Mbah Rono menurunkan status dari Awas menjadi Siaga dan normal kembali. (*)