Bendera Aceh Menentang UUD 1945 dan Perjanjian Helsinki
Pengibaran bendera Aceh adalah pelanggaran terhadap UUD 1945.
Penulis: Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti) Standarkiaa Latief mengatakan, pengibaran bendera Aceh adalah pelanggaran terhadap UUD 1945.
Pengibaran bendara Aceh juga bertentangan dengan perjanjian Helsinki (kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka).
"Pertama, enggak ada itu dalam perjanjian Helsinki. Kedua, melanggar UUD 45. Itu kan simbol-simbol di luar NKRI. Kita harus konsisten soal itu," ujar Standarkiaa kepada Tribunnews, Senin (1/4/2013).
Standarkiaa juga tidak sepakat Aceh bisa memiliki bendera sendiri, karena adanya otonomi khusus terhadap daerah tersebut.
Kata Standarkiaa, Qanun (perda) yang mengatur tentang bendera Aceh harus tunduk kepada aturan yang levelnya berada di atas.
"Semua peraturan perundang-undangan yang lahir di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia, pijakannya tetap tidak boleh mengalahkan UUD 1945. Qanun itu kan levelnya Perda," papar Standarkiaa.
Pemerintah, lanjutnya, harus tegas dalam menindak pengibaran bendera Aceh. Namun, pemerintah harus bersikap persuasif, bukan konfrontatif.
Sebelumnya diberitakan, bendera bintang bulan (bendera GAM) sudah sah dan dapat digunakan secara luas di berbagai lintas instansi pemerintah dan vertikal, serta lembaga lain di Aceh.
Penggunaan bendera dan lambang Aceh, mulai berlaku pada 25 Maret 2013, setelah Gubernur Aceh Zaini Abdullah meneken Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, Senin (25/3/2013). (*)