Jenazah Seniman Ketoprak Sempat Telantar
Sepi, kondisi itulah yang terasa ketika bertandang ke lokasi pementasan Ketoprak
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Sepi, kondisi itulah yang terasa ketika bertandang ke lokasi pementasan Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya yang berada di Dusun Balong Bayen, Purwomartani, Kalasan pada Senin (1/4/2013) siang.
Deretan kursi kosong yang sudah usang masih berada dalam posisinya menghadap ke arah panggung yang warna ornamen-ornamennya sudah pudar. Perlengkapan alat musik tradisional juga masih berada di tempatnya, tepat di depan panggung pementasan ketoprak.
Terkesan apa adanya, namun di tempat inilah setidaknya delapan orang pemain ketoprak masih terus melestarikan budaya tradisional sekaligus mencari penghidupan dari seni pertunjukan tersebut selama sekitar tiga tahun terakhir.
Di lokasi yang ditutupi "gedek" dari seng ini lah, dua orang nenek renta menyambut kedatangan Tribun Jogja. Satu orang nenek sudah berusia 65 tahun, sedangkan satu lagi, berusia diatas 70 tahunan. "Semuanya sedang mengantar jenazah Pak Sentot, tapi kami juga belum tahu mau dimakamkan dimana," ucap Kamiyati (65), nenek berusia 65 tahun yang biasa bertugas sebagai penjaga loket pertunjukan ketoprak.
Di tempat inilah, Sentot Wijaya (72), seorang seniman ketoprak asal Jawa Timur menghembuskan nafas terakhirnya akibat penyakit yang ia derita. Hidup kekurangan di perantauan, membuatnya tidak bisa memeroleh perawatan kesehatan memadai. Akhirnya, setelah berjuang sekian lama, hari Minggu (31/3/2013) pagi kemarin, sutradara di ketoprak tobong itu, meninggal dunia di hadapan dua orang nenek renta yang merupakan sahabatnya bermain ketoprak dan seorang istrinya yang juga sudah lanjut usia.
Sentot dikenal sebagai seorang sutradara Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya, yang telah membaktikan hidupnya selama lebih dari 30 tahun. Pria asal Nganjuk Jawa Timur ini telah berkelana dari satu ketoprak ke ketoprak lainnya, serta sudah selama 13 tahun bersama dengan Kelana Bhakti Budaya. Atas dedikasinya itu pula, Sentot bahkan sempat memaksakan diri untuk tampil menghibur penikmat ketoprak yang sebagian besar penonton berusia tua.
"Terakhir empat hari sebelum meninggal sempat pentas. Kami membawakan lakon Pengemis Gunung Kawi, cerita yang dikarang sendiri oleh Pak Sentot," tambah nenek yang biasa disapa Mak Kamek ini.
Setelah itu, kondisi kesehatannya menurun terhitung satu hari sebelum meninggal. Kondisi itu, memperparah penyakit asam uratnya yang sudah ia derita sejak lama. Sabtu malam, nafas Sentot sudah tersengal-sengal namun sempat meminta satu botol besar air mineral. Barulah, pada Minggu (31/3/2013) pagi, ia meninggal dunia.
Yang memperihatinkan, ia baru bisa dimakamkan, pada siang keesokan harinya atau Senin (1/4/2013). Masalahnya, pemerintahan desa setempat tak mengijinkan pemakaman karena ia dianggap sebagai warga pendatang.
Risang Yuwono, ketua kelompok Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya menjelaskan bahwa pihaknya sebenarnya sudah meminta ijin dan memohon bantuan kepada perangkat desa setempat terutama untuk masalah pemakaman. Namun, pemerintahan desa setempat tetap berpegang pada aturan yang berlaku yang melarang warga pendatang untuk dimakamkan di tempat tersebut.
Akibatnya, jenazah Sentot sempat terlantar tanpa adanya kepastian mau dimakamkan dimana. Risang dan rekan-rekannya yang lain, kemudian berusaha mencari pertolongan dan bantuan kepada berbagai pihak, termasuk diantaranya membawa jenazah Sentot ke Dinas Pariwisata DIY. Namun, tambahnya, di tempat ini, pihaknya merasa tak memeroleh jawaban memuaskan.
"Kami seperti dilempar kesana kemari, hampir sekitar 15 menit dan kami hanya memeroleh jawaban bahwa masalah ini berada pada kewenangan Dinas Kebudayaan dan Dinas Sosial. Sebenarnya dalam peristiwa seperti ini, instansi apakah yg seharusnya mengayomi dan memayungi?" herannya.
Beruntung, setelah berusaha sejak meninggalnya Sentot sehari sebelumnya, akhirnya mereka mendapatkan lokasi pemakaman. Jenazah Sentot akhirnya dimakamkan di Cokrowijayan atas pertolongan dan kebijakan desa setempat. "Cokrowijayan tidak membeda-bedakan, namun berbuat semaksimal mungkin demi almarhum," ucapnya.
Atas peristiwa tersebut, dirinya berharap tidak akan ada lagi kejadian serupa dalam konteks problematika berbangsa dan bernegara. Ke depannya, tambahnya, bisa tercipta resolusi kehidupan yang lebih bamusiawi dalam sinergi kebudayaan, dinas sosial dan pemerintah. "ini adalah tragedi kemanusiaan, bagaimana komitmen-komitmen kemasyarakatan tidak ditujukan untuk kesejahteraan bersama, melainkan mempertebal jurang perbedaan dan diskriminasi," tandasnya.
Diluar itu semua, kondisi para pelestari kesenian tradisional ini sekarang sangat memperihatinkan. Mereka hidup serba pas-pasan dari hasil pentas yang tak seberapa. Meski begitu, setiap malam Rabu dan malam Sabtu mereka terus menggelar pentas seni ketoprak sebagai pundi-pundi sosial masyarakat yg dekat dengan masyarakat kecil dan akrab mempertemukan ratusan individu yg bersosial dan berekspresi di tengah seni ini.
Kondisi ketoprak sekarang, tambah Risang, hanya bertahan dalam keterbatasan, gamelan yang usang, seng hancur berantakan dan perumahan para pemain yg tidak layak huni. Pun demikian halnya dengan kian tersingkirnya pamor kesenian tradisional di tengah gencarnya modenitas.
"Bangunan ini pernah hancur berantakan karena angin kencang, kalau hujan juga bocor, tapi syukurlah masih ada yang nonton," timpal Mak Kamek.
Dari hasil bermain ketoprak, mereka paling tidak memeroleh pembagian bayaran sangat minim. Hanya cukup untuk makan sekali dalam setiap pementasan yang dilaksanakan mulai pukul 21.30 hingga tengah malam. Sekali pementasan, biasanya melibatkan hingga 31 orang pemain dan pengrawit. Dimainkan oleh sembilan orang pemain utama yang tinggal di lokasi pementasan, sedangkan sisanya berasal dari warga setempat. Namun, mereka juga memeroleh penghasilan dari pekerjaan sampingan yang dilakukan setiap harinya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.