Runtuhnya Nilai di Tanah Luwu
Hanya sekejap, nilai luhur yang membumi ratusan tahun di Tana Luwu dianggap telah sirna.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR -- Hanya sekejap, nilai luhur yang membumi ratusan tahun di Tana Luwu dianggap telah sirna. Kerusuhan beberapa jam setelah penetapan hasil Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Palopo, Minggu (31/3/2013), mengubah segalanya tentang kawasan yang dijuluki Wanua Mappatuo Naewai Alena (negeri yang menghidupi, mampu memberdayakan dirinya sendiri) itu, Pembakaran kantor pemerintahan, kantor partai politik, kampus, hingga media massa itu tidak bisa dibenarkan. Dengan dalih dan alasan apapun.
Nilai-nilai luhur Tana Luwu pun digugat, Ia dianggap telah luntur dan ditutupi hasrat akan kekuasaan. Perilaku yang menyimpang dari nilai historis tersebut dianggap sebagai anomali, atau sesuatu yang tak normal.
Demikian simpulan Diskusi Forum Dosen-Majelis Tribun di Redaksi Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Senin (1/4/2013). Hadir Dr Adi Suryadi Culla, Prof Dr Abd Muin Fahmal, Prof Dr Ma’ruf Hafidz, Aswar Hasan, Dr Ahyar Anwar, Prof Dr Marwan Mas, dan Dr Rahmat Muhammad.
Aswar yang juga Dosen Komunikasi Unhas dan putra Palopo menegaskan, apa yang terjadi pasca-pilwali di tanah kelahirannya itu tidak menunjukkan karakter sesungguhnya orang Luwu. "Ada pergeseran nilai. Jabatan tidak lagi dipandang sebagi amanat, melainkan prestise, peluang dan hak," kata Aswar.
Ahyar yang dikenal budayawan humanistik menuturkan, kompabilitas antara demokrasi dan nilai-nilai kultural harus disinergikan. "Perlunya penyelenggaraan demokrasi yang berbasis nilai-nilai sosial kultural dari sekadar prosedural politik," tegas dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) tersebut.
Guru Besar Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ma’ruf Hafidz, mengaku tak habis pikir dengan kejadian itu. Semua simbol pemerintahan, pendidikan, dan kebebasan berekspresi, dirusak. "Artinya bahwa masyarakat terutama calon tidak siap kalah," ujarnya.
Adi mengingatkan bahwa jika hal ini terus terjadi, maka akan mendorong disahkannya RUU Pemilukada terkait penghapusan pemilihan langsung di tingkat kota dan kabupaten.
Keprihatinan ini juga diungkapkan Rahmat yang menilai kekacauan yang terjadi di Palopo bisa menjadi percontohan di tingkat nasional. Hal itu beralasan sebab kisruh Pilwali Palopo telah dibahas di sidang kabinet.
Oleh karena itu, Guru Besar UMI Muin Fahmal, berpendapat, harus ada audit publik melalui lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Penyelenggaran Penyelenggaran Pemilu (DKPP) terkait kinerja KPU di daerah.
Guru besar Universitas 45 Marwan Mas juga menyebut kisruh di Palopo sebagai ketidakdewasaan elite politik dan rakyat dalam berdemokrasi. "Jika ada persoalan atau kecurangan dalam prosesnya, disiapkan jalur untuk meneyelesaikannya melalui jalur hukum. Kalau itu pelanggaran pemilu ke Panwas dan MK, jika pidana murni ke polisi terus pengadilan umum," jelas guru besar ilmu hukum ini.(Tribun Timur/ilham arsyam)