Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Istri Syahrial Oesman Dinilai Tidak Pantas Maju Bertarung di Pilkada

dari sisi fatsun politik keluarga dari mantan koruptor kurang tepat untuk diusung

zoom-in Istri Syahrial Oesman Dinilai Tidak Pantas Maju Bertarung di Pilkada
Sriwijaya Post/Deryardli
Maphilinda Syahrial Oesman usai memberikan hak suaranya di TPS yang berada disekitar tempat tinggalnya, Kamis (6/6/2013). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majunya Maphilinda Syahrial Oesman, istri dari mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman dalam pemilihan gubernur mendapat sorotan. Pasalnya, Syahrial, adalah mantan gubernur yang pernah terjerat kasus dugaan korupsi atau pernah jadi napi.

Meski secara legal formal setiap warga negara berhak dicalonkan dan mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi, tapi dari sisi fatsun politik keluarga dari mantan koruptor kurang tepat untuk diusung.

Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan itu di Jakarta, Senin (22/7/2013).  Menurutnya, partai mestinya mencalonkan figur yang benar-benar punya integritas. Jangan asal mencalonkan.

Publik lanjut Masykurudin membutuhkan pemimpin, yang jejak rekamnya bersih dan teruji. Sebab, marak dalam Pilkada, keluarga langsung pelaku kasus korupsi, justru di usung partai, maju pemilihan.  Padahal, dari sisi kepantasan, keluarga koruptor, tak layak diusung.

“Inilah (mencalonkan keluarga koruptor-red), faktor utama kenapa partisipasi pemilih dalam Pemilu atau Pilkada kita semakin terus menurun,” kata Masykurudin.

Menurut dia, sistem pencalonan yang tidak lagi mendasarkan diri pada integritas, membuat partai asal comot calon. Sehingga jejak rekam dinomorduakan.

“Bebasnya partai mengusung kandidat bekas napi, atau bagian dari keluarga napi perkara korupsi membuat pemilih kita apatis dan malas menyalurkan aspirasi,” katanya.

Berita Rekomendasi

Pada akhirnnya, masyarakat, kata dia, tidak banyak diberi pilihan terbaik. Karena kekuasaan pencalonan hanya melingkar di sekitaran elit, tapi  minim partisipasi. Dan lebih mendasarkan diri pada setoran.

“Lingkaran kekuasaan semata-mata hanya berbasis uang, berpotensi korupsi dan menghasilkan pemimpin kita yang tanpa integritas,” kata dia.

Padahal ini, ujarnya, menjadi syarat utama munculnya trust dalam pengelolaan persoalan publik. Tantangan sekarang ini, adalah memunculkan calon pemimpin baru yang selain mempunyai kapabilitas  mumpuni juga punya integritasnya.

“Partai politik harus mulai berani merekrut calon pemimpin yang integritasnya tinggi, meskipun orang baru dan tidak banyak mempunyai modal," katanya.

Seperti diketahui, dalam hajatan pemilihan gubernur di Sumatera Selatan, Maphilinda Syarial Osman,  istri dari mantan gubernur provinsi tersebut, Syahrial Oesman, maju ke pemilihan. Maphilinda, maju sebagai calon Wakil Gubernur, berpasangan dengan Herman Deru. Syahrial, sendiri adalah kepala daerah yang terjerat kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan.

Syahrial, divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. Tapi, oleh Mahkamah Agung, hukumannya diperberat, menjadi tiga tahun.

Sementara itu, Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto,  mengatakan, keluarga koruptor diusung partai dalam kontestasi politik, seperti Pilkada, secara legal formal tak ada masalah. Karena, kata dia, sebuah tindakan yang berimplikasi pidana, dipertanggungjawabkan secara individu yang melakukannya.

“Kecuali ada bukti-bukti  yang menunjukkan bahwa anggota keluarga koruptor tersebut terlibat dalam tindakan korupsinya,” kata dia.

Hanya saja, kata Erwan tidak semua hal memang harus diatur lewat hukum formal. Tapi, bila bicara tentang kepatutan,  tentunya  mengusung keluarga pelaku korupsi dalam sebuah ajang kontestasi Pilkada, dari fatsun politik kurang elok.

“Kurang eloklah,  anggota keluarga koruptor maju dalam Pilkada,” kata dia.

Tapi, lepas dari semua itu, masyarakat juga diharapkan secara cerdas bisa mensikapi hal tersebut tersebut. Misalnya dengan  tidak memilih calon-calon  yang  integritasnya diragukan.

Sedangkan, Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Hifdzil Alim, mengatakan, partai yang mencalonkan napi atau keluarga napi korupsi, sepertinya tak memiliki referensi yang cukup mengenai calon yang akan diusung. Ini membuktikan, partai tidak serius menyiapkan calon yang akan diusung dalam Pilkada atau pemilihan legislator, yang kapabel dan antikorupsi.

“Ini sebenarnya, bisa  jadi berita buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebab, mereka yang jadi pemangku kekuasaan, merekalah yang menyiapkan perangkat hukum untuk pemberantasan korupsi,” kata Hifdzil.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas