Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pergi Sekolah Melewati Hutan

SD dan SMP, yang berjarak 5 kilometer sampai 10 kilometer dari kampung mereka

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pergi Sekolah Melewati Hutan
Warta Kota/Adhy Kelana
Ilustrasi siswa SD 

Masih di ruangan di SMP Cibitung Plus tersebut, di sebelah ruangan kelas 2, ruangan memanjang berukuran 2x4 meter untuk kelas tiga yang hanya berjumlah tiga orang.

"Kami kalau belajar tiga orang saja. Dan itu sangat bermanfaat karena pelajaran bisa terserap dengan baik," ujar Arip (13).
Di antara semua siswa yang bersekolah di SMP Cibitung Plus ini, satu hal yang pernah mereka alami bersama, selama bersekolah SD dan SMP.

"Selama delapan tahun dari SD hingga sekarang duduk di kelas 2 SMP, kami berjalan kaki sejauh 3-5 kilometer. Kami pergi bersama melewati hutan, jadi enggak takut. Paling di jalan ketemu monyet saja, selebihnya tidak ada apa-apa," ujar Isda (13), siswi kelas 2 SMP tersebut, diiyakan teman-temannya.

Menikah Dini

Minimnya sekolah setingkat SMP di Desa Cibitung menyebabkan puluhan siswa lulusan SD negeri Cibitung dihadapkan pada dua pilihan hidup, menikah di usia dini untuk siswa perempuan dan menjadi kuli angkut kayu bagi siswa laki-laki.

"Itu memang terjadi di sini. Tapi sekarang sudah membaik setelah ada sekolah SMP Cibitung Plus yang menampung siswa-siswa lulusan SD. Sebelum tahun 2012, setiap lulusan di SD negeri Cibitung, jika tidak melanjutkan ke SMP, orang tua menikahkan anak perempuan mereka. Kalau anak laki-laki, membantu orang tua dengan jadi buruh angkut kayu," kata Kabud (45), guru SD Negeri Cibitung, belum lama ini.

Menurut Kabud, rata-rata anak yang dinikahkan itu berusia di bawah 15 tahun untuk siswa perempuan. Begitu juga dengan anak laki-laki yang dipekerjakan sebagai buruh kuli kayu. Kondisi tersebut, kata Kabud, tidak semata karena alasan ekonomi.

Berita Rekomendasi

"Sebenarnya warga di sini, terutama yang di kampung terpencil seperti di Sukasari dan Rasugata, ekonominya masih mampu, bahkan untuk menyekolahkan anak. Tapi setelah lulus SD, karena jarak kampung mereka dengan sekolah setingkat SMP terlalu jauh, orang tua mereka berpikir untuk segera menikahkan anak perempuan mereka, daripada menguras uang untuk transportasi anak mereka menuju sekolah setingkat SMP," ujarnya.

Hal tersebut dibenarkan Sri Muntari (38), guru honorer di SD Cibitung. Menurutnya, sebelum ada SMP Cibitung Plus, setiap tahun pasti ada anak perempuan lulusan SD dinikahkan dengan pria lain. "Ironisnya, anak perempuan ini dinikahkan dengan pria dewasa, sekitar 30 tahunan. Itu karena orang tua masih berpikiran anak perempuan mending dinikahkan, dibanding sekolah, terlebih lagi dengan jarak tempuh sekolah setingkat SMP sangat jauh," ujarnya.

Beruntung, setahun terakhir, di desa tersebut berdiri sekolah SMP Cibitung Plus. Meski dengan infrastruktur yang terbatas, kata Sri, SMP Cibitung ini bisa mengikis putus sekolah dari SD ke SMP.

Giman menambahkan pihaknya sempat melakukan sosialisasi pencegahan pernikahan dini di kampung tersebut. "Siswa-siswa kami sering cerita kalau teman-teman semasa mereka di SD, setelah lulus langsung menikah. Sebenarnya itu ironis karena usia mereka usia menempuh pendidikan, bukan menikah. Kami juga pernah melakukan sosialisasi itu kepada warga di sini," ujar Giman.

Ia mengatakan, kondisi ekonomi orang tua yang rendah membuat pilihan menikahkan anak perempuannya menjadi solusi terbaik untuk meringankan beban orang tua. Terlebih lagi, untuk mengakses pendidikan lanjutan ke SMP cukup sulit.

"Akses pendidikan yang sulit ditempuh, belum lagi biaya pendidikan di luar desa ini yang tinggi, membuat mereka bersikap seperti itu. Itu juga kenapa kami membangun SMP Cibitung, yang menggratiskan biaya sekolah agar pernikahan dini ini bisa dikikis," ujar Giman. (tribun jabar cetak/men)

Sumber: Tribun Jabar
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas