Pergi Sekolah Melewati Hutan
SD dan SMP, yang berjarak 5 kilometer sampai 10 kilometer dari kampung mereka
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Puluhan siswa di Kampung Sukasari, Kampung Sukanegara, Kampung Rasugata, Kampung Genteng, dan Kampung Babakan Picung, Desa Cibitung, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, harus pergi ke sekolah SD dan SMP, yang berjarak 5 kilometer sampai 10 kilometer dari kampung mereka, dengan sekolah terpencil mereka haris menyusuri hutan pinus yang sepi.
Akses yang sulit ke kampung-kampung terpencil itu menyebabkan sarana pendidikan minim. Sulitnya akses menuju sekolah diperparah lagi dengan minimnya sarana sekolah, khususnya SMP, yang membuat para siswa memperoleh pelajaran seadanya. Karena itu, kehadiran SMP Plus di daerah Cibitung membantu memperpendek jarak dari rumah ke sekolah.
Desa Cibitung berlokasi di sebelah barat Kecamatan Ciater. Dari jalan kecamatan, berjarak sekitar 25 kilometer. Kampung Sukasari, Rasugata, Genteng dan Babakan Picung terletak 3-5 kilometer dari Kampung Sukanagara, tempat SMP Cibitung Plus ini berdiri. Keempat kampung tersebut dikelilingi hutan pinus yang lebat.
"Kami mendirikan SMP Cibitung Plus untuk menyiasati agar siswa-siswa di desa ini tidak perlu jauh ke sekolah SMP Negeri 1 Ciater, yang berjarak 10 kilometer dari desa ini," ujar Giman Hidayat (19), guru SMP Cibitung Plus, beberapa waktu lalu.
Giman menjelaskan, sebelum adanya SMP Plus, puluhan siswa di desa tersebut tiap hari harus mengeluarkan uang Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu untuk ongkos ojek. Meskipun sebenarnya, di luar siswa SMP yang bersekolah di tempat tersebut, masih ada siswa yang bersekolah SMP di daerah Kecamatan Ciater.
"Karena menguras keuangan orang tua mereka yang rata-rata berpenghasilan rendah, mereka akhirnya memindahkan sekolahnya ke SMP ini yang hanya berjarak 5 kilo dari kampung mereka. Setiap hari mereka berjalan kaki menuju sekolah. Menyusuri hutan. Kami selalu khawatir jika musim hujan, khawatir mereka ada apa-apa di jalan," ujarnya.
Bangunan SMP Cibitung Plus itu terbilang sangat sederhana. Ukurannya 6-8 meter dan berdinding bilik. Di dalam bangunan SMP dibuat sekat untuk ruangan kelas 3, ruangan kelas 2 yang digabung dengan kelas 1, dan ruangan khusus praktik komputer yang sudah dilengkapi satu unit komputer.
"Siswa di sini, kelas 1 hanya satu orang, kelas 2 sembilan orang, dan kelas 3 dua orang. Kelas 1 digabung dengan kelas dua karena sudah tidak ada ruangan lagi. Kebanyakan siswa di sini berasal dari Kampung Sukasari, Rasugata, Genteng, Sukanegara, dan Babakan Picung. Siswa lainnya di desa ini, untuk SMP harus pergi ke wilayah Kecamatan Ciater," ujarnya.
SMP tersebut menggratiskan biaya pendidikan para siswa. Bahkan siswa juga diberi seragam sekolah gratis. "Yang sekolah SMP di sini, mereka yang kurang mampu menyekolahkan anaknya ke daerah lain yang lebih layak, seperti di pusat Kecamatan Ciater. Sebetulnya bukan semata soal kemampuan membayar biaya pendidikan, tapi lebih kepada mahalnya biaya transportasi dari kampung mereka. Bayangin saja sehari untuk biaya transportasi anaknya ke sekolah bisa mencapai Rp 30 ribu," ujarnya.
Bertemu Monyet
Saat Tribun berkunjung ke sana, belum lama ini, suasana ruangan kelas cukup ramai, terutama di ruangan kelas 2. Suasana kelas terasa aneh ketika di tengah siswa kelas 2 SMP, terselip satu orang siswa kelas 1 SMP yang digabung dengan kelas 2.
"Nama saya Syahrudin, di ruang kelas ini satu-satunya siswa kelas 1 SMP, sedangkan 9 orang siswa lainnya kelas 2. Guru yang ngajar bergantian, ngajar kelas 2 dulu lalu ngajar kelas 1, yang cuma saya sendiri," kata Syahrudin, siswa kelas 1 SMP Cibitung Plus itu.
Meski satu-satunya siswa kelas 1 SMP di sekolah tersebut dan belajar bersama siswa kelas 2, Udin mengaku merasa nyaman meski belajar digabung. Bahkan ia mengaku mengetahui sedikit pelajaran kelas 2 SMP.
"Jadi kalau belajar, gurunya gantian. Ngajar saya dulu lalu ngajar kelas 2. Kalau guru ngajar kelas 2, saya duduk saja sambil mendengarkan guru ngajar kelas 2," ujar Udin.
Masih di ruangan di SMP Cibitung Plus tersebut, di sebelah ruangan kelas 2, ruangan memanjang berukuran 2x4 meter untuk kelas tiga yang hanya berjumlah tiga orang.
"Kami kalau belajar tiga orang saja. Dan itu sangat bermanfaat karena pelajaran bisa terserap dengan baik," ujar Arip (13).
Di antara semua siswa yang bersekolah di SMP Cibitung Plus ini, satu hal yang pernah mereka alami bersama, selama bersekolah SD dan SMP.
"Selama delapan tahun dari SD hingga sekarang duduk di kelas 2 SMP, kami berjalan kaki sejauh 3-5 kilometer. Kami pergi bersama melewati hutan, jadi enggak takut. Paling di jalan ketemu monyet saja, selebihnya tidak ada apa-apa," ujar Isda (13), siswi kelas 2 SMP tersebut, diiyakan teman-temannya.
Menikah Dini
Minimnya sekolah setingkat SMP di Desa Cibitung menyebabkan puluhan siswa lulusan SD negeri Cibitung dihadapkan pada dua pilihan hidup, menikah di usia dini untuk siswa perempuan dan menjadi kuli angkut kayu bagi siswa laki-laki.
"Itu memang terjadi di sini. Tapi sekarang sudah membaik setelah ada sekolah SMP Cibitung Plus yang menampung siswa-siswa lulusan SD. Sebelum tahun 2012, setiap lulusan di SD negeri Cibitung, jika tidak melanjutkan ke SMP, orang tua menikahkan anak perempuan mereka. Kalau anak laki-laki, membantu orang tua dengan jadi buruh angkut kayu," kata Kabud (45), guru SD Negeri Cibitung, belum lama ini.
Menurut Kabud, rata-rata anak yang dinikahkan itu berusia di bawah 15 tahun untuk siswa perempuan. Begitu juga dengan anak laki-laki yang dipekerjakan sebagai buruh kuli kayu. Kondisi tersebut, kata Kabud, tidak semata karena alasan ekonomi.
"Sebenarnya warga di sini, terutama yang di kampung terpencil seperti di Sukasari dan Rasugata, ekonominya masih mampu, bahkan untuk menyekolahkan anak. Tapi setelah lulus SD, karena jarak kampung mereka dengan sekolah setingkat SMP terlalu jauh, orang tua mereka berpikir untuk segera menikahkan anak perempuan mereka, daripada menguras uang untuk transportasi anak mereka menuju sekolah setingkat SMP," ujarnya.
Hal tersebut dibenarkan Sri Muntari (38), guru honorer di SD Cibitung. Menurutnya, sebelum ada SMP Cibitung Plus, setiap tahun pasti ada anak perempuan lulusan SD dinikahkan dengan pria lain. "Ironisnya, anak perempuan ini dinikahkan dengan pria dewasa, sekitar 30 tahunan. Itu karena orang tua masih berpikiran anak perempuan mending dinikahkan, dibanding sekolah, terlebih lagi dengan jarak tempuh sekolah setingkat SMP sangat jauh," ujarnya.
Beruntung, setahun terakhir, di desa tersebut berdiri sekolah SMP Cibitung Plus. Meski dengan infrastruktur yang terbatas, kata Sri, SMP Cibitung ini bisa mengikis putus sekolah dari SD ke SMP.
Giman menambahkan pihaknya sempat melakukan sosialisasi pencegahan pernikahan dini di kampung tersebut. "Siswa-siswa kami sering cerita kalau teman-teman semasa mereka di SD, setelah lulus langsung menikah. Sebenarnya itu ironis karena usia mereka usia menempuh pendidikan, bukan menikah. Kami juga pernah melakukan sosialisasi itu kepada warga di sini," ujar Giman.
Ia mengatakan, kondisi ekonomi orang tua yang rendah membuat pilihan menikahkan anak perempuannya menjadi solusi terbaik untuk meringankan beban orang tua. Terlebih lagi, untuk mengakses pendidikan lanjutan ke SMP cukup sulit.
"Akses pendidikan yang sulit ditempuh, belum lagi biaya pendidikan di luar desa ini yang tinggi, membuat mereka bersikap seperti itu. Itu juga kenapa kami membangun SMP Cibitung, yang menggratiskan biaya sekolah agar pernikahan dini ini bisa dikikis," ujar Giman. (tribun jabar cetak/men)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.