Gadis Sape Sonok Bertabur Uang
“Uang yang saya terima itu bersih, tidak dipotong dan tidak dibagikan kepada pemilik sapi atau penabuh musik,” kata Dewi,
Laporan Wartawan Surya,Muchsin
TRIBUNNEWS.COM,PAMEKASAN – Dalam setiap ajang kontes sape sono’ (Sapi santik), perhatian pengunjung tidak hanya terfokus pada kecantikan sapi betina yang dipertontokan di arena.
Namun juga melirik kepada beberapa penari sape sono’ atau sinden, yang berlenggak-lenggok di belakang pasangan sape sono’.
Kehadiran sejumlah sinden, dalam setiap even sape sono’. Baik yang digelar di tingkat kecamatan, kewedanan, kabupaten hingga tingkat Madura, seperti kontes sape sono’, beberapa waktu lalu di Pamekasan, menyedot perhatian pengunjung.
Para sinden itu, mengenakan pakaian perempuan adat Madura, berjalan sambil menari di belakang sape sono’, yang dikelilingi sejumlah pria pemilik sapi berusia rata-rata di atas 50 tahun, ikut menari bersamanya.
Pesinden tidak mempedulikan terik matahari atau sorotan ratusan pengunjung yang tertuju kepadanya.
Penari terlihat riang gembira dan terus menerus tersenyum dengan tubuh gemulai mengikuti irama musik seronin, pengiring sape sono’. Sementara pria yang menari di sampingnya bergantian memberikan lembaran uang, mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 100.000.
Meski dalam setiap menari, sinden bisa meraup banyak uang, antara Rp 1,5 juta – Rp 2 juta dalam setiap kontes, namun tidak semua wanita mampu menari di tempat umum, yang dikelilingi sejumlah pria pemilik sape sono’ dan menjadi tontonan banyak orang.
Selain wajah cantik dan murah senyum, dibutuhkan keberanian tersendiri untuk menari di arena sape sono’. Apalagi penari bersama orang lain, yang bukan pemilik sape sono’(maksudnya kelompoknya sendiri).
Seperti diungkapkan Dewi (18), penari asal Sumenep. Bagi gadis berwajah kuning langsat, dengan tubuh berkalung uang Rp 5.000 an dan Rp 100.000 an, dalam setiap kontes sape sono’, di tingkat kecamatan ia mendapatkan uang saweran dari pemilik sapi sono’ yang menari bersamanya minimal Rp 500.000.
Namun, jika kontes sape sono’ tingkat kabupaten atau Madura, uang yang diperoleh sebanyak antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.
“Uang yang saya terima itu bersih, tidak dipotong dan tidak dibagikan kepada pemilik sapi atau penabuh musik,” kata Dewi, yang mengaku sudah 5 tahun menjadi sinden sape sono’.
Utuhnya uang saweran yang diterima itu, karena ia diundang pemilik sape sono’. Beda dengan pesinden khusus untuk menari sape sono’ di kelompoknya sendiri dan dilarang menari di sape sono’, orang lain.
Hal senada dipaparkan Maya (25), pesinden sape sono’, Pamekasan. Awalnya menari di tempat umum merasa malu, karena sebagian masyarakat menilai kurang baik menjadi penari sape sono’. Namun setelah digeluti, ternyata rasa malu dan anggapan miring itu tidak ada.
“Mereka yang menari bersama kami dan memberikan uang saweran, tidak akan berbuat usil sampai di luar batas, seperti memegang-megang tubuh dan mencolek. Kami sudah mengenal mereka, apalagi saat menari, grup sape sono’ yang mengundang kami, menjamin tidak akan terjadi sesuatu pada kami,” ungkap Maya.
Salah seorang pemilik sape sono’, Suli Faris, asal Kecamatan Batumar-mar, Pamekasan, Senin (21/10/2013) mengatakan, kehadiran gadis sinden di arena sape sono’, sebagai daya tarik sendiri bagi penonton, dengan tetap berpegang pada norma ketimuran dan agama.
Walau gadis sinden ini jangan disamakan seperti penari musik dangdut di atas panggung, yang bisa seenaknya pria yang menari bebas memegang dan memeluk tubuhnya.
Sebab, semua pemilik sape sono’ itu, sudah saling mengenal dan mengerti etika. Jika di antara peria ketahuan memegang atau memeluk tubuh gadis pesinden, maka pemilik sape sono’ langsung menegur, bahkan mengusir dari area itu.
Diakui, sebagian dari pemilik sape sono’ mengundang gadis sinden, namun sebagian pula membawa sendiri dan sudah menjadi bagian dari kelompoknya. Agar sape sono’ miliknya lebih terkenal dan diminati orang, bagaimana cara orang banyak melihat pasangan sape sono’, salah satu cara menghadirkan gadis sinden.