Rukun Agawe Ngejazz, Pesan Perdamaian dari Godean
Saat aksi-aksi kekerasan dan radikalisme menghangat di Yogyakarta, sebuah pesan damai muncul dari Godean
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com - Saat aksi-aksi kekerasan dan radikalisme menghangat di DI Yogyakarta, sebuah pesan perdamaian muncul dari Godean, sebelah barat Kota Yogyakarta, Sabtu (16/11/2013). Beragam penyanyi, musisi, alat musik, dan warna suara menyatu dalam sebuah harmoni kerukunan musik di acara Ngayogjazz 2013.
Tema Ngayogjazz 2013 kali ini, ”Rukun Agawe Ngejazz”, sangat aktual dengan kondisi masyarakat DIY, bahkan Indonesia. Di tengah riuh rendah pemberitaan media yang setiap hari menampilkan aneka ragam kekerasan dan permusuhan, Ngayogjazz menawarkan virus-virus perdamaian yang menyejukkan melalui nada dan suara.
Sama seperti semangat Ngayogjazz tahun-tahun sebelumnya, Ngayogjazz tahun ini kembali digelar di tengah perkampungan, bukan di mal ataupun hotel berbintang. Dipilihlah Desa Wisata Sidoakur di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman. Desa wisata ini berada di tengah lahan persawahan.
Meski berada di pelosok kampung, Desa Wisata Sidoakur mudah dijangkau. Sejak pukul 09.00 para pemuda kampung Sidoakur sudah bersiap-siap memandu pengunjung Ngayogjazz, mulai dari Jalan Godean hingga jalan masuk kampung mereka.
Sebelum sampai di Sidoakur, pengunjung melewati hamparan persawahan luas. Di kanan-kiri tampak hiasan-hiasan memedi manuk (boneka pengusir burung) dengan kepala terbuat dari sapu lidi dan sapu ijuk persis seperti boneka penolak hujan.
Begitu belok kanan masuk kampung Sidoakur, kain oranye panjang direntangkan di antara pepohonan, hingga pintu masuk kampung. Di sepanjang gang kampung, para ibu menyambut dengan sajian aneka macam jajanan. Sidoakur seolah-olah berubah menjadi pasar.
Di tengah kampung berdiri lima panggung musik sederhana dengan nama Panggung Tradisional, Panggung Wawuh (berdamai), Panggung Guyub (rukun), Panggung Sayuk Rukun (suasana penuh kerukunan), dan Panggung Srawung (bergaul). Penamaan kelima panggung ini selaras dengan tagline Ngayogjazz 2013, ”Rukun Agawe Ngejazz”, yang digelar di kampung Sidoakur yang artinya jadi rukun (akur).
”Enam bulan kami berburu memilih lokasi ini untuk penyelenggaraan Ngayogjazz. Sesuai dengan tema utama, di acara ini siapa pun boleh tampil, boleh berjualan, boleh menonton secara gratis, asalkan tetap pada koridor utama, yaitu kerukunan,” kata penanggung jawab Ngayogjazz, Djaduk Ferianto.
Mulai pukul 09.00 hingga menjelang tengah malam, Sidoakur disulap menjadi arena pertunjukan musik raksasa dengan nuansa pedesaan yang ramah dan menyejukkan. Denah lokasi acara terpampang di beberapa tempat sehingga memudahkan siapa pun untuk mencari panggung yang mereka suka. Fasilitas umum, seperti kamar mandi, toilet, mobil ambulans, dan parkir umum, juga tersedia.
Konser gila
Meski digelar di pelosok kampung, Ngayogjazz 2013 terbukti menjadi festival musik jazz kolosal dengan jumlah artis mencapai 260 orang dengan 37 grup band. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada Ngayogjazz 2012 yang didukung 180-an artis dengan 27 grup band.
”Begitu sampai di kampung ini dan tahu bahwa konser ini free alias gratis, peserta Ngayogjazz dari Amerika Serikat terperanjat. ’Ini benar-benar pertunjukan gila’, kata dia,” ujar Djaduk.
Sejumlah artis dan grup band luar negeri tampil dalam Ngayogjazz 2013, seperti Baraka, band berformat trio asal Jepang; pemain trumpet Eropa Erik Truffaz; Brink Man Ship yang dikomandani Jan Galega Bronnimann asal Swiss; serta Jerry Pellegrino, pianis asal Amerika Serikat. Artis dalam negeri yang tampil antara lain Idang Rasjidi, Monita Tahalea, Shadu Band, Everyday Band, Kirana Big Band, Komunitas Jazz Jogja, Jazz Ngisor Ringin, Oele Pattiselano Trio, Peni Chandrarini, dan Ketzia.
”Dari sekian artis yang pernah tampil di ajang Ngayogjazz, Kang Idang Rasjidi adalah salah satu contoh pemusik jazz senior yang selalu setia menemani dan menyediakan diri untuk tampil. Kami menobatkan Kang Idang sebagai jazzer proletar. Dari beliaulah lahir musisi-musisi jazz muda berkualitas,” kata Djaduk.
Sama seperti sejarah kelahiran musik jazz yang berawal dari perlawanan terhadap ketertindasan, setiap tahun Ngayogjazz selalu tampil di tengah-tengah masyarakat kaum bawah atau kalangan proletar. Di festival ini, para musisi pemula hingga senior bersatu dan bermain bersama tanpa ada perbedaan.
Seperti tahun lalu, konser Ngayogjazz 2013 juga berlangsung di tengah guyuran hujan. Ngayogjazz benar-benar menjadi medan pembelajaran bagi pemusik jazz. Mereka yang biasa dimanjakan dengan fasilitas konser musik mewah, harus bermain di tengah derasnya hujan, dengan peralatan seadanya.
Ngayogjazz digelar dengan dana patungan dari berbagai sponsor. Meski dana terbatas, penyelenggara tetap berkomitmen menyuguhkan konser gratis bagi semua penikmat jazz.
Budayawan Gregorius Budi Subanar SJ menyebut Ngayogjazz sebagai fenomena perlawanan terhadap kemerosotan semangat yang tengah melanda negeri ini. ”Ngayogjazz memberi dan mengangkat suasana terhadap situasi karut-marut, menjadi alternatif untuk menggerakkan,” ujarnya.
Menurut dia, dalam Ngayogjazz terkandung suasana ”hajatan bersama” yang tak eksklusif di mana banyak pihak baik lokal, nasional, maupun internasional ikut terlibat. Dengan cara ini, berbagai aspek tersentuh, mulai dari politik, ekonomi, dan sosial tanpa perlu ada tempelan jargon-jargon ideologis yang sensasional atau bahkan komersial. (Aloysius B Kurniawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.