Pegawai BKN Ditangkap karena Tipu 4 Warga Sleman
Pelaku penipuan dengan modus menjanjikan korbannya bekerja di perusahaan negara, diringkus di Sleman.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pelaku penipuan dengan modus menjanjikan korbannya bekerja di perusahaan negara, diringkus jajaran Polsek Kalasan, Sleman, Senin (2/11/2013).
Pelaku bernama Salman Alfarizi alias Bagus (43), warga Kaligandu, Serang, Banten.
Penangkapan Salman berkat laporan dari salah satu korban kepada polisi bahwa pelaku masih tinggal di wilayah DIY.
"Ada dua korban yang melapor. Mereka (korban) memberi keterangan bahwa pelaku masih berada di DIY, jadi kami bersama korban langsung menangkap pelaku yang saat itu berada di Bantul," jelas Kapolsek Kalasan, AKP Heli Wijiyatno, Selasa (03/11/2013).
Dalam setiap melancarkan aksinya, pria pengangguran asal Banten ini mengelabui para korbannya dengan mengaku bekerja di Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan bisa memasukkan seseorang menjadi karyawan di instansi negara.
Korban yang tergiur dengan rayuan pelaku, lantas diminta mengisi data diri dan memberikan sejumlah uang dengan alasan sebagai pelicin.
"Ada korban yang dijanjikan bekerja di PT KAI, Dinas Kesehatan dan PT Angkasa Pura. Rata-rata korban dimintai uang Rp 10 juta sampai 15 juta," jelasnya.
Ia mengungkapkan, setelah membayar sejumlah uang, pelaku memberikan kuitansi bukti pembayaran yang disertai cap stempel palsu sebuah instansi.
Tak hanya itu, untuk lebih meyakinkan lagi, setiap korbannya juga diminta menjalani tes tertulis yang berlokasi di sekitar wilayah PT KAI DIY.
Tes tersebut tidak digelar bersama-sama dalam satu ruangan namun secara satu persatu. Seusai menjalani tes, setiap korbannya dijanjikan waktu satu bulan sudah dapat bekerja sesuai dengan instansi yang diinginkan.
"Karena sampai jatuh tempo janji itu tidak terealisasi, dan pelaku tidak bisa dihubungi, maka korban melaporkan aksi penipuan itu ke polisi," tandasnya.
Sementara itu saat ditemui di Mapolsek Kalasan, Salman Alfarizi alias Bagus (43) mengaku sudah empat kali melakukan penipuan dengan modus seperti ini. Rata-rata korban diminta uang paling tinggi Rp 15 juta. "Uang itu saya gunakan untuk biaya hidup sehari-hari," katanya.