Di Balik Pesona Gunung Rinjani, Ancaman Banjir dan Longsor Mengintai
Siapa sangka di balik pesona keindahan Gunung Rinjani, ancaman banjir - longsor mengintai desa di kaki gunung ini.
Penulis: Agung Budi Santoso
Laporan: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, LOMBOK - "Saudara-saudara semua dimohon kesadarannya untuk segera mengungsi dari kediaman masing-masing. Ancaman banjir dan longsor sudah di depan mata... !
Peringatan keras itu dipancarkan dari bilik siar Radio Komunitas Sembalun Lawang (Rakomsel) yang berada di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, awal Desember 2013 lalu.
Sementara di luar markas Rakomsel, tampak ibu-ibu hamil berlari-lari mengungsi sembari membawa segala perabotan rumahtangga. Anak-anak membantu membawa tas-tas berisi baju- baju.
Sementara pria-pria dewasa memanggul barang-barang berat seperti pesawat TV, kasur, dipan, kursi, menuju tempat pengungsian di lokasi paling tinggi dan aman dari terjangan banjir.
Tak cukup peringatan keras dari pancaran siaran radio lokal, perangkat desa melalui pengeras suara juga mengingatkan warga untuk cepat-cepat mengungsi. "Segera mengungsi, agar bisa dicegah jatuhnya korban jiwa maupun harta benda!" bunyi peringatan keras dari pengeras suara.
Kontan, ratusan warga Desa Sembalun Lawang lari terbirit-birit menyelamatkan diri sembari menenteng barang bawaan masing-masing. Lantas apakah terjangan banjir dan longsor sampai menelan korban jiwa?
Untungnya tidak! Sebab, semua itu cuma simulasi, latihan atau peragaan untuk melatih warga desa setempat dari segala ancaman bencana banjir dan longsor.
"Simulasi seperti itu memang digelar secara berkala agar warga desa ini selalu siaga menghadapi ancaman banjir dan longsor. Untuk menekan jatuhnya korban jiwa maupun harta," kata Mohammad Idris, Kepala Desa Sembalun Lawang kepadaTribunnews.com dan rombongan jurnalis dari Jakarta yang dikomandani Oxfam Indonesia dan LSM Konsepsi.
Bahaya di Balik Keindahan Rinjani
Di balik pesona keindahan Gunung Rinjani yang berhawa sejuk dengan pemandangan yang luar biasa indah hingga terkenal hingga seantero dunia, ancaman banjir dan longsor memang mengintai warga desa yang menghuni di kaki gunung tertinggi ketiga di Indonesia itu.
Pantas saja berbagai organisasi tingkat dunia seperti Australian Aid maupun LSM nasional seperti Oxfam Indonesia, merasa berkepentingan untuk memberikan pelatihan kebencanaan kepada warga setempat.
Pulau Lombok sendiri merupakan salah satu wilayah yang tergolong rawan terhadap berbagai bentuk ancaman bencana alam maupun non alam, seperti : gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, angin kencang, kekeringan dan konflik sosial.
Ancaman bencana itu bisa saja terjadi setiap saat serta dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kehilangan harta benda. Jelasnya, karakteristik Lombok sebagai pulau kecil dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi membuat masyarakat hidup pada kondisi yang semakin rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh bencana.
Kabupaten Lombok Timur misalnya, hasil pemetaan Indeks Rawan Bencana Indonesia (BNPB, 2012) memperlihatkan bahwa daerah ini memiliki skor 84 dalam hal kerawanan bencana (alam maupun non alam) dan menempati urutan 54 di Indonesia.
Sembalun Lawang merupakan salah satu desa dari empat desa di Kecamatan Sembalun dengan karakteristik berbukit dan berada di bawah kaki Gunung Rinjani serta berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Sebagaimana diketahui, Gunung Rinjani dan sejumlah gunung kecil di sekitarnya termasuk salah satu deretan gunung berapi yang masih aktif di Indonesia apalagi sejak keberadaan Gunung Baru Jari”.
Dengan kondisi wilayah demikian, memberikan gambaran bahwa Sembalun Lawang merupakan desa dengan potensi ancaman tinggi untuk jenis bencana seperti : gunung meletus, longsor dan banjir.
"Datangnya banjir kadang sulit diduga. Dua tahun lalu, ketika cuaca lagi panas-panasnya, tiba-tiba datang banjir," kata Mawardi, Camat Sembalun di sela simulasi hadapi bencana yang melibatkan ratusan warganya.
Irwan Firdaus dari Oxfam Indonesia bertutur, persoalan bencana tidak dapat dilihat sebagai tanggung jawab pemerintah semata jika diletakkan pada trend pembangunan saat ini yang mensyaratkan pentingnya keterlibatan masyarakat.
Diakui atau tidak, praktik perencanaan penanggulangan kebencanaan di Indonesia hingga saat ini masih menempatkan masyarakat sebagai sasaran kebijakan semata. Bahwa, masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek’ mobilisasi ketika simulasi tanggap darurat dilakukan atau korban’ yang harus dibantu pada saat atau paska kejadian sebuah bencana.
"Makanya tidak heran jika partisipasi masyarakat dalam persoalan penanggulangan bencana masih tergolong rendah," tutur Irwan Firdaus. .
Berdasar keprihatinan ini, diperlukan upaya strategis untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Logikanya, masyarakat yang berada di sekitar wilayah rentan ancaman bencana merupakan subyek utama yang harus mampu menolong dirinya sendiri pertama kali ketika bencana terjadi. Sementara bantuan luar hanyalah sebagai faktor pendukung yang sifatnya meringankan beban mereka.
"Karena itu, upaya-upaya penggalian kapasitas dan kerentanan lokal menjadi penting untuk dilakukan sebagai langkah awal untuk memahami kondisi terkini masyarakat dan lingkungannya dalam kerangka pengurangan risiko bencana," tutur Cici Riesmasari dari Oxfam Indonesia.
Tim Siaga Bencana Daerah (TSBD) dibentuk untuk memberikan pelatihan evakuasi korban bencana, latihan membikin tenda pengungsian, menyuplai logistik, memberikan pertolongan kesehatan secara darurat dan macam-macam lainnya.
Kades Sembalun Lawang Mohammad Idris bertutur, sebelum perintah mengungsi diumumkan, warga desa diberi pengetahuan tanda-tanda datangnya banjir dan ancaman longsor.
Antara lain bila hujan turun tiga hari berturut-turut, ketinggian permukaan air Sungai Pusuk dan Bale Ijuk mencapai satu meter atau lebih dan air parit meluap ke persawahan.
Status siaga ditetapkan bila Sungai Pucuk dan Bale Ijuk sudah meluap. genangan air menutupi persawahan dan ketinggian air mencapai minimal 0,5 meter.
Dan perintah mengungsi diserukan bila status 'awas' sudah ditetapkan, ditandai dengan pemukiman warga yang sudah tergenang banjir.
"Kalau ada bunyi kentungan terus-menerus, itu tanda warga harus segera mengungsi," tutur Idris. Kewaspadaan tertinggi saat curah hujan sedang deras-derasnya pada Januari - Februari.
Idris teringat dua warganya tewas saat banjir menerjang pada 2006 silam. Pihaknya tak ingin korban berjatuhan lagi. Kompleks SDN 3 Sembalun Lawang yang lokasinya tinggi jadi salah satu pilihan mengungsi.
Bencana di masa lalu jadi pelajaran berharga bagi warga desa ini untuk selalu bersiaga dan tidak terlena dengan kesejukan dan kenyamanan menghuni kawasan kaki Gunung Rinjani yang indah mempesona.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.