Panggung Ludruk Sudah Hilang
Selain Kartolo, ada Sidiq Wibisono (71) yang juga punya sejarah panjang di dunia ludruk
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com - Selain Kartolo, ada Sidiq Wibisono (71) yang juga punya sejarah panjang di dunia ludruk. Sama dengan Kartolo, Sidiq yang dulu ngetop dengan grup Sidik Cs mengaku sudah meninggalkan dunia ludruk untuk tampil solo. Selain sepi job, di Surabaya nyaris tidak ada lagi gedung pertunjukan rakyat.
Kartolo membenarkan cerita Cak Sidik tentang panggung-panggung rakyat yang hilang itu. Maestro ludruk ini masih ingat, gedung-gedung pertunjukan rakyat. Mulai dari kawasan Jojoran, Kedung Asem, Juwingan, Tambak Asri, Lasem, Gresik PPI sampai Pulo Wonokromo. Itu belum yang di luar Surabaya, yang jumlahnya mencapai puluhan.
Kartolo beruntung. Sebelum pamornya pudar, ia beralih banyolan yang juga dijual lewat rekaman. Hanya sesekali Kartolo mendapatkan job ludruk dari kelompok di luar Surabaya. Terakhir, lima bulan lalu Kartolo diajak manggung grup ludruk asal Magetan. ”Jadi sekarang saya ini freelance. Seniman ludruk panggilan,” ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa ngakak.
Mulailah Kartolo keliling sebagai pelawak. Hanya banyolan Suroboyoan tanpa jula-juli, remo dan karawitan. Tanpa harus membawa banyak personel dan peralatan, job yang didapat Kartolo relatif lancar. Kartolo mengajak istrinya Kastini dan Cak Sapari sebagai tandem banyolan.
Cerita grup ludruk Sidik Cs tidak kalah pilu. Ludruk ini cukup tersohor. Pemirsa TV dan pendengar radio cukup akrab dengan mereka. Tapi Cak Sidiq terpaksa menutup grupnya pada 1990-an. Pria kelahiran Jagiran III, Surabaya itu memilih tampil single. “Membina ludruk perlu biaya besar. Repot juga ngurus personel dan peralatannya,” tutur Cak Sidiq saat ditemui di ruang siaran Radio El-Victor. Sejak setahun lalu, ia didapuk menjadi penyiar radio di Jl Jemursari tersebut
Cak Sidiq menceritakan, mengurus ludruk harus mengasuh minimal 60 orang. Itu jumlah satu grup ludruk lengkap. Belum lagi urusan biaya peawatan peralatan karawitan.
Kartolo menambahkan, redupnya dunia ludruk karena generasi muda saat ini tidak tertarik dengan budaya lokal. Dia menunjukkan, dalam berbahasa saja generasi muda sudah enggan menggunakan bahasa Suroboyoan. “Lu gue, ibu aku, ayak aku, mobil aku. Iku bahasa opo? Suroboyo yo Suroboyoan,” tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.