Alasan Jaksa Tuntut Dua Pembunuh Balita Hukuman Mati
Pelaku pembunuhan terhadap dua balita di Kota Semarang telah dituntut hukuman mati
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM SEMARANG, – Pelaku pembunuhan terhadap dua balita di Kota Semarang telah dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Semarang, Selasa (25/2/2014) kemarin.
Ternyata, tuntutan untuk pidana mati butuh pertimbangan panjang serta melalui mekanisme yang cukup ketat.
Dua terdakwa, Ahmad Musa (28) dan Abdur Rohman (32), adalah warga Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Musa dan Rohman didakwa telah menghilangkan nyawa dua balita, yakni Kanaya Nadine Aulia Zahrani Wiyana (2) dan Keanu Riefky Antasena Wiyono (1).
Kepala Kejaksaan Negeri Semarang Abdul Azis menjelaskan alasan di balik terkabulkannya tuntutan maksimal bagi para terdakwa. Tuntutan seumur hidup maupun hukuman mati harus dimintakan persetujuan terlebih dulu ke Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi.
“Kami berharap agar majelis hakim bisa sependapat dengan tuntutan mati seperti yang kami ajukan,” kata Abdul Azis di Semarang, Rabu (26/2/2014).
Abdul Azis menjelaskan, pertama adalah bahwa perbuatan para terdakwa secara nyata telah menghilangkan dua nyawa balita serta membuat satu orang pembantu rumah tangga, Murni, cacat secara fisik dan mental.
Kedua, dua balita itu masih anak-anak sehingga hukuman bagi pelaku tergolong tinggi. Selain itu, dua balita merupakan anak kandung dari pasangan Sugeng Wiyono beserta suami Eny Widayanti yang sudah lama dinantikan kehadirannya.
Sejak menjalin pernikahan selama sepuluh tahun, dikabarkan pasangan itu belum mendapat karunia anak. Giliran sudah ada, dua anak balita itu dibunuh menggunakan linggis oleh pelaku.
Pelaku sendiri melakukan aksi pencurian diikuti dengan tindak pidana lainnya di rumah milik Sugeng Wiyono di Jalan Mulawarman Barat RT 01 RW 01 Kelurahan Kramas, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Kejadian tersebut dilakukan pada hari Kamis (10/10/2013) sekitar pukul 11.30 WIB.
Para terdakwa dinilai telah terbukti melanggar ketentuan dalam dakwaan pertama, yakni pasal Pasal 365 ayat (1) dan (4) KUHP.
Selain itu, pelaku menggasak gelang emas seberat 10 gram, dua anting bayi, 4 cincin, 3 anting, satu liontin, satu ponsel, dan satu kamera digital, serta satu ponsel merek Cross milik korban Murni. Total kerugian mencapai Rp 15 juta.
Pada pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Semarang (16/1/2014), Eny Widyanti, ibu korban, tak kuasa menahan air matanya. Dia juga belum bisa berbuat apa ketika tahu anaknya meninggal dibunuh.
"Saya awalnya belum ngeh. Saya lihat ke kamar anak. Saat itu, saya belum sempat menangis, apalagi membayangkan. Ternyata anak saya dua-duanya meninggal," ujar Eny.
Bendahara di Kampus Undip Tembalang ini pun merasa marah, jengkel, dan kecewa mengetahui anaknya terbunuh. "Anak saya kan balita, tidak tahu apa-apa. Kenapa jadi korban. Kemudian, saya telepon suami dan suruh pulang. Semua keluarga disuruh pulang. Mereka semua tidak percaya. Saya lari dan cari bantuan," sambungnya.
Dia melihat dua anaknya itu dalam kondisi tertelungkup. "Anak saya sudah tidak bernyawa saat saya datang. Saat itu, tangan saya bergetar bahkan sampai lupa siapa nama suami saya, berapa nomor handphone-nya untuk memberitahu," bebernya saat itu di hadapan hakim Bambang Setyanto itu.