Bromo Punya Gas Mematikan yang Tidak Berwarna, Tidak Berasa, dan Tidak Berbau
Dalam status waspada, turis dan penduduk masih diizinkan memasuki zona kaldera Gunung Bromo.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
![Bromo Punya Gas Mematikan yang Tidak Berwarna, Tidak Berasa, dan Tidak Berbau](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/Gunung-Bromo-keluarkan-asap1.jpg)
Laporan Tim Liputan Surya
TRIBUNNEWS.COM, PROBOLINGGO - Dalam status waspada, turis dan penduduk masih diizinkan memasuki zona kaldera Gunung Bromo. Hanya saja mereka diminta terus waspada dan mendengar setiap informasi yang disampaikan petugas.
Selain itu, para turis yang datang diwajibkan mengetahui jalur-jalur penyelamatan. Ini diperlukan bila sewaktu-waktu status Bromo naik level dan pengunjung harus meninggalkan lokasi secara cepat.
Kepala BPBD Kabupaten Probolinggo Dwi Joko Nurjayadi menjelaskan, pihaknya telah menyosialisasikan peta rawan bahaya dan jalur-jalur penyelamatan. Informasi ini bisa didapatkan di banyak tempat, mulai dari pos pantau, warga, hingga tempat-tempat penginapan.
Langkah antisipasi itu dilakukan karena, dalam keadaan normal sekalipun, Bromo masih mengeluarkan asap fumarol. Asap gas ini berbau seperti belerang dengan embusan setinggi 60 meter sampai 80 meter di atas puncak gunung. Gas jenis ini banyak mengandung uap air.
“Meski tak beracun, sebaiknya tetap dihindari. Menghirupnya dalam jumlah besar bisa berdampak buruk,” kata Moh Syafii, Ketua Pos Pengamatan Gunung Api Bromo di Dusun Cemoro Lawang.
Lalu di saat erupsi terjadi, Bromo biasa mengeluarkan gas-gas beracun, seperti mofet dan solfatara. Mofet merupakan gas yang mengandung karbondioksida dan karbon monoksida.
Gas berbahaya ini tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Kandungan mofet bisa berdampak buruk bagi kesehatan penghirupnya.
Sedangkan solfatara adalah gas yang mengandung belerang dan berbau menyengat. Dalam konsentrasi tinggi, gas ini juga berbahaya bagi kesehatan. Selain bahaya gas, bahaya lain yang muncul saat erupsi adalah lontaran batu pijar dan hujan abu.
“Namun selama ini lontaran batu pijar belum pernah menjangkau pemukiman warga. Material-material tersebut, hampir semuanya terlempar ke arah kaldera lautan pasir atau kembali ke dalam kawah”, jelas Moh Syafii.
Tingginya dinding kaldera menjadi benteng pengaman pemukiman warga. Dinding kaldera ini yang selama ini menghentikan laju lontaran batu pijar dan merontokkannya di kaldera. Permukiman warga yang berada di balik dinding kaldera menjadi aman.
“Repotnya, kadang-kadang ada warga atau wisatawan yang justru nekat menerobos, mendekati kaldera untuk melihat langsung terjadinya letusan,” pungkas dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.