Dalang Ki Manteb Ogah Jadi Politikus Meski Dekat dengan Megawati
Bagi dalang senior Ki Mantep Soedarsono, dunia politik bukan hal baru.
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Bagi dalang senior Ki Manteb Soedarsono, dunia politik bukan hal baru.
Hampir di setiap pementasan wayang kulitnya, ia selalu membawakan lakon-lakon yang menceritakan kehidupan politik.
Bahkan, selama puluhan tahun menjadi dalang, dia sering diminta untuk pentas oleh berbagai partai politik.
Namun, dalang asal Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengaku tidak tertarik untuk terjun ke dunia politik. Hal itu berbeda dengan sejumlah seniman lain yang memutuskan untuk "nyambi" menjadi politikus.
"Saya sering sekali diminta mendalang sama banyak partai. Saya juga punya hubungan baik dengan para petinggi parpol, seperti Bu Megawati. Tapi, saya tetap jadi dalang saja," ucap Ki Manteb, sebelum pementasan wayang kulit dalam rangka HUT Ke-1.108 Kota Magelang, di Kota Magelang, Kamis (17/4/2014).
Ia juga tidak menampik, banyak partai yang sudah menawarinya untuk duduk di berbagai jabatan politik atau sekadar menjadi kader. Namun, kakek 14 cucu ini memilih untuk tetap netral dan mengabdi pada dunia seni budaya.
"Walaupun saya sering pentas di berbagai kegiatan partai, saya tetap seniman, tapi bukan seniman milik partai karena seniman itu milik bangsa. Kalau partai mau pakai saya, ya silakan," ujarnya.
Kendati demikian, ia tidak meremehkan seniman yang memutuskan untuk menjadi politikus. Pria kelahiran 31 Agustus 1948 itu berpesan, agar seyogianya seorang seniman berkaca dan mengukur kemampuan diri sendiri sebelum terjun ke dunia politik praktis.
"Sebelum maju, seniman harus tahu diri. Sejauh mana kemampuannya. Kalau sudah tahu, dia akan tahu jati diri. Kalau sekarang, kebanyakan mereka justru mengukur orang lain. Tapi, dia sendiri tidak tahu dirinya sendiri," tutur salah bintang iklan obat sakit kepala ini.
Selain itu, Ki Manteb juga berpesan agar para politikus Indonesia juga mengedepankan politik berbudaya, bukan budaya politik. Ia menjelaskan, ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Politik berbudaya adalah, pola perilaku berpolitik seseorang yang santun, menghargai orang lain, serta membantu orang yang benar-benar membutuhkan.
Sebaliknya, budaya politik adalah pola perilaku seseorang menggunakan politik dalam hal apa pun. Perilaku ini, katanya, akan cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk melakukan kejahatan korupsi.
"Sudah banyak contohnya. Misalnya, ada terpidana korupsi yang masih saja membela diri merasa dirinya benar, padahal sudah ketahuan korupsi. Itulah hasil budaya politik," ujarnya.
Ketika ditanya sosok calon presiden RI yang diidolakan, ia pun enggan menyebutkan secara spesifik.
Dengan senyum khasnya, Ki Mantep menjawab bahwa siapa pun yang akan mempimpin negeri ini nanti haruslah yang mempunyai satu tujuan dengan rakyatnya dan mau belajar dan meneladani pemimpin terdahulu.
"Saya titip pesan, lelakon sing wis kelakon dadio pengilon (siapa pun yang sudah jadi pemimpin jadilah teladan). Berkacalah dengan pemimpin terdahulu. Tiru yang baik. Tinggal yang buruk," pesannya.