Kelamin dan Kepala Ratusan Warga Belu Luka Akibat Limbah Mangan
Walhi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), melontarkan protes dan kecaman atas aktivitas pertambangan mangan PT. Nusa Lontar Resources.

TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), melontarkan protes dan kecaman atas aktivitas pertambangan mangan PT. Nusa Lontar Resources.
Terutama, aktivitas perusahaan itu di Dusun Aitameak, dan tiga desa lainnya yakni Desa Ekin, Sisifatuberal dan Lutarato, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, NTT.
Protes ini menyusul ratusan warga yang menderita penyakit kulit akibat terkontaminasi limbah mangan.
Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT, Melky Nahar, Jumat (16/5/2014) pagi mengatakan, aktivitas pertambangan dari perusahaan itu tepat berada pada kawasan pemukiman warga, dan telah menimbulkan penyakit bagi warga di sana.
"Hasil investigasi kami menunjukkan fakta bahwa perusahaan itu melakukan penambangan tepat di Dusun Aitameak, Desa Ekin yang notabene ada 13 rumah penduduk di dalamnya," ungkap Melky.
Menurut Melky, PT Nusa Lontar Resources mengantongi izin usaha pertambangan operasi produksi dari Bupati Belu tahun 2011 dengan Nomor SK 74/HK/2011 dan memiliki luas konsensi lahan sebesar 967 kilometer persegi.
Akibat aktivitas perusahaan yang berada tepat di pemukiman warga, lebih dari 150 warga yang menderita penyakit kulit.
"Ada sekitar 150 warga di lokasi tambang yang terkena penyakit kulit dan penyakit itu lebih banyak menyerang alat kelamin, buah dada, perut, dan kulit kepala," beber Melky.
Kuat dugaan, warga yang terserang penyakit itu akibat konsumsi air yang sama sepanjang Kali II Siot, Hoza Jol, dan kali Lia Ka'I.
"Kami sedang berusaha untuk melakukan uji laboratorium terhadap warga yang terkena penyakit itu. Tapi yang jelas, lokasi tambang PT Nusa Lontar berada di kawasan lereng dan bagian bawahnya terdapat sungai, tempat warga mandi," ungkap Melky.
Berkaitan dengan aktivitas PT Nusa Lontar Resources itu, Walhi menyatakan, perusahaan tersebut sudah melanggar Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 134 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Semua UU itu substansinya hampir sama yakni perusahaan dilarang melakukan aktivitas pertambangan di lokasi yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Melky.
Terkait dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal), perusahaan sebagai salah satu prasyarat penting sebelum melakukan beroperasi, Walhi berkesimpulan sesuai dengan fakta yang ada bahwa Amdal itu hasil rekayasa belaka.
Walhi pun mendesak, Bupati Belu harus segera mengambil langkah cepat dengan mencabut IUP perusahaan.
"Dari fakta itu, tidak ada pilihan lain selain mencabut izin usaha produksi perusahaan dan segera melakukan pengobatan kepada warga yang terkena penyakit kulit serta melakukan reklamasi wilayah tambang yang sudah diobrak-abrik perusahaan," tegasnya.