Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Semasa Hidup, Dolly Hidupi Keluarga dengan Berdagang Minuman dan Krupuk

“Sejak saat itu, kami terpisah. Saya sendiri kemudian berpindah-pindah, di Blitar dan Malang. Sedangkan dua kakak saya di Surabaya,” ungkap Handoyo.

zoom-in Semasa Hidup, Dolly Hidupi Keluarga dengan Berdagang Minuman dan Krupuk
Surya
Makam Dolly A Chavid atau Tante Dolly di Pemakaman Kristen, Sukun, Malang, Jawa Timur. 

TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Meskipun beda bapak, Dolly tetap menyayangi dua adiknya. Handoyo menjadi adik yang paling disayangi.

Selain bungsu, Handoyo cukup nurut kakaknya itu. Handoyo lahir 1936 atau tujuh tahun dari usia Dolly.

Saat pecah perang di Surabaya pada 1945, keluarga besarnya terpecah. Dolly tinggal di Jalan Sulung. Lalu adiknya tinggal di Jalan Kepatihan.

Sedangkan Handoyo di Jalan Karang Bulak (saat ini Jalan Basuki Rahmad) bersama Ani, ibunya.

Namun, tak berselang lama, Handoyo kembali mengungsi. Bersama ibunya, dia mengungsi ke Gedangan, Sidoarjo.  

Harus jalan kaki saat malam hari agar bisa terhindari dari baku tembak.

“Sejak saat itu, kami terpisah. Saya sendiri kemudian berpindah-pindah, di Blitar dan Malang. Sedangkan dua kakak saya di Surabaya,” ungkap Handoyo.

Baru sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1954, Ani kembali ke Surabaya mencari dua anaknya.  Ani bersyukur bisa bertemu kedua anaknya.

Saat itu, Dolly sudah memiliki anak. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana di Jalan Keputran Gang X.

Dolly menghidupi keluarganya dengan berdagang minuman, krupuk, dan kacang. Dia membuat sendiri dagangannya itu.

Handoyo kemudian membantu kulakan sekaligus menjual dagangan, dengan menitipkan menitipkan ke warung-warung.

Termasuk warung-warung di kawasan lokalisasi Cemoro Sewu dan Bong.

Bisnis lain Dolly adalah depot tinggalan suami. Dolly sangat perhatian  pada adiknya.

Handoyo disekolahkan hingga lulus SMA. Hidup Handoyo juga ditanggung.

Bahkan, Dolly-lah yang mencarikan istri sekaligus membiayai pesta pernikahannya.

“Dia carikan jodoh saya di desa. Katanya biar saya tidak rusak. Inilah perempuan yang akhirnya menemani hidup saya sampai saat ini. Alhamdulillah langgeng,” ujar Handoyo sembari menengok sang istri.

Handoyo mengaku menyesal tidak bisa melihat wajah kakaknya untuk terakhir kalinya.

Dia terlambat datang ke pemakaman Dolly karena tidak ada bus dari Kediri menuju Malang. Ketika itu Handoyo bekerja dan tinggal di Kediri.

Hanya istrinya yang bisa mengikuti prosesi pemakaman Dolly pada 1992.

Saat itu, ada beberapa wartawan yang meliput pemakaman di Taman Pemakaman Kecamatan Sukun, Malang.

”Foto istri saya masuk koran. Nah, teman-teman saya di Kediri lihat foto itu. Mereka kaget ternyata saya masih keluarga Dolly yang saat itu sudah terkenal,” kenangnya.

Kenangan tentang Dolly, diabadikan Handoyo dengan rutin mengkliping koran yang memuat berita seputar lokalisasi Dolly. Dia juga menyimpan tiga foto Dolly di pigura.

Foto itu mulai usang. Namun, Handoyo mengaku kenangannya bersama sang kakak, akan dia bawa mati. (idl/edr)

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas