Wildan Sempat Mengeluh, Lama Bertempur Tapi Tak Kunjung Mati
”Maaf saya merokok,” katanya sembari mempersilakan Surya (Tribunnews.com Network)ikut menikmati gulungan tembakau itu.
TRIBUNNEWS.COM, LAMONGAN - Kematian Wildan Mukhollad di Irak sempat mengguncang keluarganya di Payaman, Solokuro, Lamongan.
Namun, mereka perlahan bisa mengikhlaskan.
Mereka sadar tak bisa mengubah takdir hidup remaja pandai yang memang memimpikan mati di medan tempur.
Muhammad In’am meraih rokok kretek. Sejurus kemudian, sebatang rokok sudah terapit di bibirnya.
”Maaf saya merokok,” katanya sembari mempersilakan Surya (Tribunnews.com Network)ikut menikmati gulungan tembakau itu.
Gaya hidup pemuda 36 tahun itu jauh berbeda dengan almarhum adiknya, Wildan Mukhollad.
Gaya In’am berpakaian sangat kasual. Jauh dari atribut Timur Tengah yang biasa dikenakan sang adik, meski keduanya sama-sama jebolan pondok pesantren. In’am memilih jalur hidup sebagai pebisnis.
In’am lalu memulai kisah perjalanan hidup adiknya. Ia pun berharap Wildan tewas dalam keadaan syahid, seperti yang diimpikannya ketika memasuki Irak bersama ISIS.
”Dia memiliki keyakinan yang kuat untuk membantu umat muslim di sana melawan rezim yang kejam. Insya Allah (kematiannya) baik,” harapnya.
Keyakinan Wildan untuk berperang di barisan ISIS memang berulang kali diucapkannya kepada keluarga. Tentu saja melalui pembicaraan telepon.
Pernah suatu ketika, Wildan menelepon ibunya. Di ujung telepon, Wildan berkeluh kesah lantaran tak kunjung dipilih Tuhan untuk mati syahid.
Padahal, banyak teman seangkatannya yang ‘terpilih’, mati dalam pertempuran.
”Bu aku kok gak mati-mati ya? Konco-konco wis akeh sing syahid,” ujar In’am menirukan ucapan adiknya.
Mendengar keinginan itu, sang ibu menghela nafas panjang. Sang ibu kemudian menasihati Wildan. Namun, nasihat itu hanya didengar tanpa pernah diturutinya.