Abdul Ghoni Napi Bom Bali, Kini Tekuni Kaligrafi di Kedungpane Semarang
"Dulu belajar membuat kerajian kaligrafi dari nol. Kan berkelompok, belajarnya langsung praktik sama teman-teman lain, saling melengkapi," kata
TRIBUNNEWS.COM,SEMARANG - Abdul Ghoni (napi pelaku bom Bali) sedang membuat seni kaligrafi di Lapas Klas 1A Kedungpane, Semarang.
Sejumlah napi teroris mengisi waktunya dengan belajar kaligrafi di Lapas Kedungpane, Semarang.
Mereka kini berharap sisa hidupnya bisa bermanfaat untuk orang lain.
Tangan Abdul Ghoni begitu cekatan dan terampil mamainkan sebatang paku dan sebuah palu, di atas lempengan kuningan.
Kini, mantan pelaku Bom Bali I itu terampil membuat seni kaligrafi Arab, di Lapas Klas IA Kedungpane, Semarang.
"Dulu belajar membuat kerajian kaligrafi dari nol. Kan berkelompok, belajarnya langsung praktik sama teman-teman lain, saling melengkapi," kata pria asal Solo ini, beberapa hari lalu.
Abdul Ghoni merupakan anggota kelompok pelaku Bom Bali I, yang ditangkap di Bogor pada April 2003. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar Bali, ia dijatuhi hukuman seumur hidup.
Bapak empat anak ini sudah enam tahun menghuni Lapas Kedungpane. Sebelumnya, ia sempat menghuni Lapas Krobokan, Bali, selama lima tahun.
Saat ini, ia memimpin rekan-rekannya, sesama napi teroris, menekuni seni kaligrafi. Bahkan, diakui dia, sebagian karyanya telah sampai ke mancanegara.
"Alhamdulillah, karya saya sudah sampai Inggris. Dulu ada bule Inggris kebetulan datang kemari, dan tertarik membeli karya saya," ucap dia bangga, sembari menunjukkan contoh karya kaligrafi yang telah terpigura rapi.
Disampaikannya lebih lanjut, untuk mengerjakan satu kaligrafi, dibutuhkan waktu antara satu hari hingga empat hari.
Tergantung dari ukuran dan kerumitannya. Harga jual tiap kaligrafi juga berlainan.
Berkisar antara Rp 300 ribu, hingga jutaan rupiah.
"Kalau pesanan lebih mahal, sebab biasanya pemesan meminta pola yang agak rumit," ujar pria berjenggot lebat ini.
Dikatakannya, semua kerajinan ini ia pelajari secara mandiri. Bahan baku juga ia usahakan secara mandiri pula.
"Lembaran kuningan kami dapat dari luar, kalau ada kerabat atau teman yang besuk, kami minta dibawakan dari Solo," ucapnya.
Dalam satu bulan, ia dan teman-temannya mampu menjual sekitar tujuh kaligrafi.
Hasil karya mereka bisa didapatkan di toko souvenir yang terletak di lingkungan Lapas.
Kini, lanjut Abdul Ghoni, ia coba belajar menekuni kaligrafi di media dinding. Menggunakan cat akrilik.
"Itu di masjid Lapas, kami yang membuat kaligrafinya," kata Amir Mahmud, napi teroris lain, dengan kasus berbeda, asal Kudus.
Sampai saat ini, Abdul Ghoni, masih berharap ada perubahan undang-undang. Sehingga, suatu saat, ia bisa menghirup udara bebas. "Di dalam (lapas) kami mulai kembali bermasyarakat, kami ingin berbuat yang berguna dan bermanfaat untuk orang lain," ucap dia.
Disinggung mengenai paham ISIS yang saat ini ramai diperbincangkan, Abdul Ghoni, enggan berkomentar lebih jauh.
Ia mengaku tidak terlalu mengikuti perkembangannya.
"Kami tidak mendukung, kami juga tak mengikuti perkembangannya, kami konsentrasi bermasyarakat di sini," tandas dia.
Serupa diungkapkan Arbain, napi teroris, yang tersangkut kasus bom di Makassar.
"Kelak, kalau keluar saya ingin menekuni usaha ini. Kami ingin kembali diterima di tengah-tengah masyarakat," ujar pria, yang diganjar hukuman lima tahun penjara ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.