Mantan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Dituntut 2,5 Tahun
“Hal-hal yang memberatkan adalah karena terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi,” ujar JPU Made Subawa
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Profesor I Made Titib melepas kacamata dan beberapa kali mengusap matanya.
Mantan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN itu) tampak muram seusai mengikuti sidang dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa IHDN di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (18/9).
Ditemani anak laki-laki dan istrinya yang selalu mengenakan pakaian adat Bali, Titib terlihat tidak happy saat di antar menuju ruang tahanan.
Dalam sidang kemarin jaksa penuntut umum menuntut Titib dengan ganjaran 2 tahun 6 bulan beserta denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan.
I Made Titib didakwa bersalah karena dipandang telah melakukan perbuatan berlanjut yang dilakukan bersama-sama dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukkannya.
Tuntutan ini sesuai dakwaan subsidair pasal 3 ayat 1 junto pasal 18 ayat (1) huruf (b) UU no 31 tahun 1999 tentang tipikor junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP junto pasal 64 ayat (1) KUHP. Namun ia dibebaskan dalam pasal 2 Undang-undang yang sama.
Titib tidak dibebankan uang pengganti karena menurut JPU dalam fakta-fakta persidangan tidak ada aliran dana atau terdakwa menerima fee dari pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di IHDN.
Namun juga tidak ditemukan alasan pemaaf atau pembenar yang dapat menghapuskan pidananya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) senilai Rp 25 Miliar tersebut.
“Hal-hal yang memberatkan adalah karena terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi,” ujar JPU Made Subawa.
Sedangkan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, selama persidangan selalu bersikap sopan dan terdakwa juga merupakan tulang punggung keluarga.
Tuntutan lebih lebih tinggi dikenakan pada terdakwa Dr Praptini selaku Kabiro Administrasi Umum di IHDN. Jaksa menuntut perempuan itu 6 tahun dikurangi masa tahanan sementara.
Ia juga dituntut denda sebesar Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Namun selain itu ia dikenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3 miliar lebih.
Apabila uang tersebut tidak dibayarkan dalam tempo waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan dinyatakan inkracht maka harta bendanya akan disita untuk dilelang. Dan apabila harta bendanya tidak cukup maka ia akan dikenai pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Pertimbangan tuntutan jaksa adalah karena Praptini dinilai sebagai Kabiro Administrasi Umum di IHDN Denpasar yang merupakan lembaga pendidikkan berbasis agama seharusnya menjadi panutan bagi mahasiswa dan bawahannya.
Tetapi yang dilakukannya justru menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan dan menggerogoti uang negara untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, dalam persidangan dikatakan bahwa terdakwa berbelit-belit. Ia juga telah mengorbankan atasan dan bawahannya dan ia tidak merasa bersalah atau menyesali perbuatannya.
Sedangkan yang meringankan karena terdakwa belum pernah dihukum dan tulang punggung keluarga.
Usai dibacakan tuntutan, mantan Pembantu Rektor 2 IHDN ini tidak banyak berekspresi. Namun saat keluar ruangan ia sempat tersenyum.
Begitupula saat ia menuju mobil tahanan, Wajah Praptini tidak menujukkan ekspresi kesal ataupun cemberut.
Ia keluar pengadilan membawa sebuah tas plastik bening di dalamnya terlihat sebuah botol air mineral dan makanan kemasan. Ia lalu meninggalkan pengadilan bersama terdakwa lainnya.
Tuntutan paling ringan diterima oleh Nyoman Suweca yang merupakan Kasubag Perencanaan di IHDN Denpasar.
Jaksa Penuntut Umum hanya menuntutnya dengan hukuman 2 tahun penjara dikurangi masa penahanan beserta denda Rp 50 juta subsider 2 bulan.
Ia dinyatakan tidak menerima uang hasil korupsi dan hanya menerima honor atas pekerjaannya saja, maka dari itu untuknya tidak dibebankan uang pengganti.
Namun demikian JPU tidak menemukan alasan pemaaf untuk membenarkan perbuatannya, Ia dinilai telah merusak citra instutusi negara berbasis agama Hindu, namun ia juga dinilai tidak menikmati uang hasil korupsi.