Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jatah Frekuensi untuk Radio Komersial di Surabaya Sudah Habis

"Jadi tidak bisa lagi kalau mau mendirikan stasiun radio komersial. Kalau mau buat radio komunitas bisa, tapi tidak boleh cari pendapatan lewat iklan,

zoom-in Jatah Frekuensi untuk Radio Komersial di Surabaya Sudah Habis
Warta Kota/adhy kelana/kla
PASANG JARINGAN - Beberapa orang pekerja tengah memasang jaringan telepon selural di kawasan Jalan Antasari, Jakarta Selatan, Jumat (9/5). Pemasangan jaringan ini untuk memperbanyak frekuensi sinyal telepon saluran sehingga tidak merugikan bagi konsumen telepon genggam. Warta Kota/adhy kelana/kla 

TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Peluang mendirikan stasiun radio komersial baru di Surabaya bisa dikatakan sudah tertutup.

Ini karenakan frekuensi atau kanal radio yang ada, sudah habis.

Demikian disampaikan oleh Kepala Seksi Operasional, Perbaikan dan Pemeliharaan Balai Monitor Frekuensi Radio Kelas II Surabaya, Syamsul Huda, Rabu (24/9/2014).

Menurut Syamsul, saat ini frekuensi yang diperuntukkan kegiatan radio komersial, sudah penuh.

"Jadi tidak bisa lagi kalau mau mendirikan stasiun radio komersial. Kalau mau buat radio komunitas bisa, tapi tidak boleh cari pendapatan lewat iklan," kata Syamsul.

Frekuensi radio sendiri, selama ini dialokasikan untuk empat kepentingan yang berbeda.

Yakni lembaga penyiaran publik, yang digunakan oleh RRI, kemudian radio swasta komersial, radio komunitas, dan televisi berlangganan.

Berita Rekomendasi

Nah, jatah frekuensi untuk radio komersial di Surabaya, saat ini memang sudah penuh.

Meski demikian, Syamsul mengakui, hingga saat ini, masih ada para pengguna frekuensi ilegal di Surabaya. Namun, ia mengaku tidak hapal jumlahnya.

"Saya tidak siap data. Hanya saja, jumlahnya terus bertambah, dan lebih banyak dari tahun lalu. Bisa dikatakan, pengguna frekuensi di lapangan belum bisa di tingkat zero illegal, atau bebas pelanggar," ujar Syamsul.

Menurut Syamsul, dari pemakai frekuensi radio, jumlah mereka yang ilegal, ada di bawah 10 persen.

"Sulit untuk menghilangkan sama sekali. Tapi kita selalu menekan jumlahnya," aku dia.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas