Pria Asal Inggris Ini Hampir Seluruh Hidupnya Dihabiskan untuk Teliti Sejarah Diponegoro
Selama lebih dari 40 tahun dalam hidupnya, Peter Brian Ramsey Carey mendedikasikan diri untuk meneliti sejarah perang Jawa (1825-1930),
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG — Selama lebih dari 40 tahun dalam hidupnya, Peter Brian Ramsey Carey mendedikasikan diri untuk meneliti sejarah perang Jawa (1825-1930), termasuk sisi detail kehidupan Pangeran Diponegoro.
Penelitian Carey—sapaan akrabnya—telah menjadi teks referensi bagi para sejarawan hingga akademisi di seluruh dunia.
Tidak salah jika sejarawan asal Inggris itu kemudian dianugerahi Sanghyang Kamahayanikan oleh penyelenggara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2014 di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
"Meskipun bagi saya ini (penghargaan) bukan sesuatu yang istimewa, saya berharap semoga (hasil penelitian) menjadi warisan bagi bangsa Indonesia agar sejarah tidak luntur, semoga bisa dimanfaatkan dan dijunjung tinggi," tutur Carey kepadaKompas.com di Hotel Manohara Borobudur, Kabupaten Magelang, Kamis (13/11/2014).
Carey lahir di Rangoon, Myanmar, pada 30 April 1948. Ia besar dan menyelesaikan pendidikan di Inggris. Ia sebelumnya adalah Laithwaite Fellow dalam Sejarah Modern pada Trinity Collage, Oxford.
Carey telah melakukan studi selama 40 tahun tentang Pangeran Diponegoro dari awal abad ke-19 di tanah Jawa. Carey berbagi cerita, ketertarikannya dengan kisah heorik Pangeran Diponegoro bermula dari sebuah tugas yang harus ia kerjakan ketika duduk di bangku kuliah. Tugas tersebut menjadi syarat mendapat beasiswa untuk penelitian.
Carey pun berpikir untuk membuat penelitian tentang Revolusi Perancis di sebuah daerah di Perancis. Namun, penelitian tentang Revolusi Perancis sudah banyak dilakukan oleh peneliti lainnya.
Atas saran gurunya, Carey lalu mengangkat judul penelitian tentang ekspansi kekuasaan Raja Perancis bernama Napoleon di tanah Jawa.
"Guru saya bilang, kenapa tidak meneliti kekuasaan Daendels, pengutus Napoleon di pulau Jawa yang telah mendobrak sistem korup dari kompeni (Belanda)? Deandels telah membuat sistem pemerintahan baru. Kalau judul ini dibuat, maka kamu akan jadi sejarah baru," kata Carey, menirukan petuah sang guru.
Carey lantas mulai melakukan berbagai observasi sampai kemudian menemukan kisah sosok pemuda Jawa yang gigih melakukan pemberontakan melawan kolonialisme Belanda sampai kekuasaan Deandels.
"Kalau tidak begini, sejarah bisa lenyap di Indonesia. Seperti tokoh pahlawan Sisingamangaraja, siapa yang tahu Sisingamangaraja? Ia hanya seperti mitos. Jadi, kita boleh ambil nama orang lain, lalu pergi bergembira dengan orang lain, tetapi tetaplah bermukim di kampung halaman sendiri. Ini sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang diterjang gelombang tsunami budaya Barat," sambung Carey.
Penyerahan penghargaan tersebut rencananya digelar di sebuah hotel di Yogyakarta pada penutupan rangkaian BWCF 2014 pada Sabtu, 15 November 2014, mendatang.
Pada kesempatan itu, Carey yang menulis buku berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1885 itu juga berkesempatan berpidato.
Seno Joko Suyono, kurator BWCF 2014, mengatakan, Peter Carey layak mendapatkan penghargaan tersebut karena Carey dipandang mampu menjelaskan dunia batin atau dunia dalam Pangeran Diponegoro.
Uraian mengenai Diponegoro di tangan Carey bukan sekadar deskripsi mengenang perang atau siasat-siasatnya, tetapi suatu uraian yang menjelajah masuk dan mencoba mengungkit alam spiritual Diponegoro.
"Karya-karya Carey luar biasa. Ia juga tekun meneliti berbagai dokumen terkait dengan perang Jawa, termasuk dokumen yang tersimpan di British Museum (Inggris) dan Museum Leiden (Belanda), serta Keraton Yogyakarta dan Keraton Mangkunegaran," kata Seno.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.