Diskriminasi yang Dialami Penghayat Sunda Wiwitan
Bukan hal mudah mempertahankan diri menjadi penghayat Sunda Wiwitan.
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.KUNINGAN, – Bukan hal mudah mempertahankan diri menjadi penghayat Sunda Wiwitan. Selain diskriminasi yang kerap diterima sejak lahir, mereka tak jarang dianggap remeh. Salah satunya dalam hal kartu tanda penduduk (KTP).
Seorang penghayat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih (39) menceritakan pengalamannya saat mengurus KTP. Kala itu, tahun 2010, saat masih tinggal di Jakarta, ia berniat mengganti KTP. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip (-). Namun saat KTP-nya yang baru rampung, dia pun kaget. Sebab, di kolom agama dituliskan Islam.
Dewi pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi. “Akhirnya saya menulis surat ke Lurah Cilandak Jakarta Barat tertanggal 15 Juni 2010 atas kekeliruan yang dilakukan petugas di sana," kata Dewi, kepada Kompas.com belum lama ini.
"Selain surat, saya sertakan bukti hidden camera percakapan saya dengan petugas pembuatan KTP. Setelah itu, baru KTP saya benar, kolom agama dikosongkan. Pokoknya saat itu, dalam empat hari, dicetak tiga KTP atas nama saya,” sambung Dewi.
Kejadian lain yang tak kalah menyedihkan adalah ketika Dewi kehilangan dompet. Untuk mengurus KTP dan ATM yang raib bersama dompet tersebut, Dewi mendatangi kepolisian hendak membuat surat kehilangan. Dia pun mulai ditanya identitas diri untuk diisi ke form surat kehilangan yang sudah menggunakan komputer.
Begitu masuk ke kolom agama, polisi kebingungan. “Saya jawab, agama saya kepercayaan. Polisi bertanya, apa tuh? Gak ada di kolomnya. Saya meminta untuk dikosongkan, dan polisi berkata kalau dikosongkan, suratnya tak bisa dicetak dan enggak bisa dapetin surat kehilangan. Akhirnya, saya bilang, cari kolom agama yang penganutnya sedikit saja. Polisi pun mengisi Konghucu,” sambung Dewi.
Belum lagi ketika berbicara soal PNS. Dewi bercerita, beberapa tahun lalu adiknya hendak mendaftar PNS secara online. Namun hal itu urung dilakukan karena dalam formulir itu hanya tercantum agama yang diakui Negara.
Sebenarnya, kata Dewi, yang diperjuangkannya selama ini bukan hanya pengakuan dalam selembar KTP. Para penghayat membutuhkan perlindungan tanpa diskriminasi. Jika akan dicantumkan di KTP, maka semua harus tanpa syarat. Sebab identitas itu merupakan hak mendasar. Apalagi, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Negara ini berdiri.
“Bahkan leluhur kami ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia terutama dalam membakar semangat nasionalisme lewat budaya. Meskipun kami mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan sejak zaman Belanda,” tutur dia.(baca juga :Penganut Sunda Wiwitan Sudah Biasa Kosongkan Kolom Agama di ...)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.