Kicau Burung Damai Menghibur Walau Untung Sulit Diukur
"Bulan ini saja saya sudah rugi sekitar Rp 5 juta karena burung-burung yang mati. Umumnya burung hasil tangkapan yang rentan stress."
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered
TRIBUNNEWS.COM, KALTIM - Pria ikal itu fokus dengan mangkuk kotornya. Diaduknya butiran pekat bama hijau kebiruan dengan sendok plastik, setelah diberi sedikit air. Setelah tampak encer, disuapkannya seujung kecil di paruh mungil seekor burung yang berada di sangkar bambu usang.
"Baru menetas, jadi harus disuapi," kata John, demikian ia memperkenalkan diri. John adalah penjual aneka burung berkicau yang berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya menggunakan sepeda motor. Sebelum masuk Bumi Etam, ia "menjajal" Kalimantan Selatan.
Puluhan sangkar yang berisi ratusan ekor burung aneka rupa diletakkan di gerobak yang dikaitkan erat dengan jok dan sisi belakang sepeda motornya. Kali ini ia singgah di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, untuk menjemput rejeki.
Belasan jenis burung terdapat dalam gerobak kayu itu. Mulai Beo, Poci, Pelesi, Jalak, Perkutut, Kacamata, Murai, Kenari, dan berbagai jenis lainnya. Banderolnya bervariasi, mulai Rp 50.000, ratusan ribu, hingga Rp 2 juta.
"Saya membeli burung-burung ini di Balikpapan. Setelah itu saya bawa di gerobak dengan ditarik sepeda motor. Sebelum sampai sini, saya berhenti di Samarinda dan Bontang. Di mana berhenti, di situ saya berdagang," katanya. Untungnya lumayan, walau terkadang sulit diukur.
John mengaku, saat berdagang aneka burung, ia merasa terhibur dengan kicauan-kicauannya. "Terhibur juga dengar kicauan-kicauan burung. Termasuk saat pembeli sepi," katanya.
John tentu sangat berharap dagangannya laris manis. Apalagi, inilah mata pencaharian satu-satunya; untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan untuk dikirimkan sebagai nafkah bagi anak istri di Yogyakarta.
Karena itulah, ia selalu merawat dagangannya sebaik mungkin. Pasalnya, tak telaten merawat, burung-burung tersebut bisa sakit bahkan mati.
"Bulan ini saja saya sudah rugi sekitar Rp 5 juta karena burung-burung yang mati. Umumnya burung hasil tangkapan yang rentan stress saat dibawa dalam perjalanan. Setelah itu sakit lalu mati. Kalau burung yang dibudidaya lebih tahan stress," katanya.
Perawatan juga dilakukan dalam pemberian makan dan perlindungan dari hujan. "Stock makanan selalu saya siapkan. Yang masih kecil saya suapi satu-satu. Saya juga sedia terpal. Kalau hujan sangkar harus ditutupi," katanya.
John tak tahu persis margin keuntungan dalam usahanya ini. Yang dipahaminya, penjualan harus lebih besar dari nilai modal saat pembelian, hemat pengeluaran semaksimal mungkin, dan cepat lakukan "rotasi" saat dagangan sudah tak laku.
"Kami membeli burung-burung ini dengan berhutang pada bos di Balikpapan. Nanti pembayarannya pada waktu tertentu. Kalau burungnya tidak terjual, cepat-cepat kami jual ke sesama teman, walaupun harganya lebih rendah dari harga modal. Sebelum kondisinya sakit," katanya.
Adapun langkah penghematan, umumnya dilakukan pada pilihan tempat menginap. "Saya paling sering menginap di masjid. Yang penting jaga kebersihan. Sering juga di kantor Polsek. Di samping gratis, juga aman," katanya, seraya mengaku pernah beberapa kali kecolongan. Burung yang mahal pula.
Hingga beberapa hari ke depan, ia akan mangkal di sekitar Rumah Sakit Cahaya Sangatta. "Sampai tanggal muda lah Mas," katanya sembari tersenyum. Setelah itu ia akan kembali "berkelana" di Kaltim. Lagi-lagi membawa gerobak penuh burung, melewati tanjakan, perbukitan, dan ruas jalan yang berlubang-lubang.