Tinjauan Geologi Bencana Tanah Longsor di Banjarnegara
Pada tahun 2006 di awal bulan Januari, bencana tanah longsor menimpa kawasan Dusun Gunung Raja, Desa Sijeruk Kecamatan Banjarmangu.
Editor: Dewi Agustina
Wartawan Tribun Jateng, Fajar Eko Nugroho
TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Bencana longsor di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah terjadi dua kali dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun--serupa berupa bencana gerakan tanah (longsoran)--meratakan kawasan pedusunan di salah satu Desa Sampang wilayah Kecamatan Karangkobar.
Sebelumnya, pada tahun 2006 di awal bulan Januari, bencana tanah longsor menimpa kawasan Dusun Gunung Raja, Desa Sijeruk Kecamatan Banjarmangu yang menyebabkan 90 korban meninggal tertimbun longsoran. Setelah itu, pertengahan Desember 2014, gerakan massa (mass movement) bergerak meratakan kawasan pedusunan Sijemblung Desa Sampang, yang hingga saat ini masih terus dilakukan evakuasi korban yang tertimbun longsoran tanah.
Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Mochammad Aziz, ST, MT memaparkan tinjauan Geologi bencana tanah longsor yang terjadi di Dusun Jemblung, Kabupaten Banjarnegara Jumat (15/12/2014) lalu.
Gerakan tanah (landslide) didefinisikan secara sederhana sebagai pergerakan masa batuan, debris atau tanah menuju bagian bawah lereng.
Di dalam SNI 13-6982.2 tentang pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah, gerakan tanah didefinisikan sebagai perpindahan material pembentuk lereng, berupa batuan, bahan timbunan, tanah, atau material campuran yang bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (BSN, 2004). Gerakan tanah (longsoran) merupakan salah satu peristiwa alam yang sering menimbulkan bencana dan kerugian material yang tidak sedikit.
Kondisi alam (geografis) dan aktivitas manusia merupakan salah satu faktor penyebab akan terjadinya gerakan tanah tersebut. Faktor alam yang menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain yang paling mendasar adalah tingginya curah hujan, kondisi tanah, intensitas pelapukan batuan (tinggi hingga sangat tinggi), vegetasi penutup, dan faktor kestabilan lereng, selain faktor kegempaan sebagai pemicunya.
Disisi lain faktor aktivitas manusia juga dapat menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah, sebagai contoh misalnya penggunaan lahan yang tidak teratur dan tidak tepat peruntukannya, seperti pembuatan areal persawahan pada lereng yang terjal, pemotongan lereng yang terlalu curam, penebangan hutan yang tidak terkontrol, dan sebagainya.
Gerakan tanah dapat juga terjadi karena adanya penurunan nilai faktor keamanan lereng. Perubahan nilai faktor keamanan disebabkan oleh perubahan pada kekuatan gaya penahan (resisting force) dan gaya pendorong (driving force).
Kejadian longsoran tanah (landslide) di Kabupaten Banjarnegara terletak pada daerah yang mempunyai topografi bergelombang kuat hingga pegunungan, yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan, yang membujur barat-timur dan dipisahkan oleh Sungai Serayu yang membentuk lembah serta kondisi geologi yang kompleks.
Kestabilan wilayah Kabupaten Banjarnegara sangat dipengaruhi dan dikontrol oleh kondisi geologi yang ada, yaitu batuan dan struktur geologi yang kompleks serta topografi yang berelief kuat serta bervariasi.
Mengacu pada pembagian fisiografi Jawa Tengah (van Bemmelen, 1949), maka wilayah Banjarnegara yang meliputi Kecamatan Karangkobar termasuk dalam Zona Pegunungan Serayu Utara bagian tengah. Secara bentukan bentang alam atau unit geomorfologi daerah sekitar wilayah Banjarnegara. Menurut klasifikasi van Zuidam (1983) secara umum dapat dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi, antara lain berupa: Satuan Geomorfik Fluvial dengan Subsatuan Dataran Banjir, Satuan Geomorfik Bentukan Struktur, serta Satuan Geomorfik Volkanik dengan Subsatuan Geomorfik Endapan Lahar.
Menyimak faktor kondisi geologi yang menyusun wilayah Banjarnegara berdasarkan Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa skala 1:100.000 (terbitan PSG Bandung Tahun 1996), maka wilayah zonasi bencana gerakan tanah (longsoran) yang terjadi di sekitar wilayah Dusun Sijemblung Desa Sampang tersusun oleh litologi yang berupa:
1. Titik awal (Mahkota atau source area) longsoran, kemungkinan berupa litologi dari Anggota Lempung Formasi Ligung (QTlc) yang didominasi oleh batu lempung tufan dan batu pasir tufan (tuffaceous claystone and tuffaceous sandstone), dan batuan volkanik Kuarter yang telah lapuk lanjut (strong weathered), dapat berupa berupa batuan piroklastika dan breksi aliran, sesuai dengan posisi penyebaran Peta Geologi Regional, di mana lokasi longsoran tersusun oleh litologi QTlc (warna hijau) dan litologi Qjm (warna coklat pada Peta Geologi).
2. Tempat material longsoran terendapkan (depositional toe), kemungkinan pada daerah dengan peruntukan lahan sebagai daerah sawah irigasi berbentuk teras/undak yang didominasi oleh litologi batuan volkanik Kuarter (endapan lahar) dan alluvium berupa Qjo (warna coklat pada Peta Geologi).
Secara umum kondisi Geologi penyusun daerah longsoran di Dusun Sijemblung Desa Sampang meliputi beberapa satuan/formasi (dari tua ke muda) yaitu : Formasi Rambatan (Tmr, warna kuning pada Peta Geologi) yang tersusun oleh litologi batuan sedimen detritus halus berupa serpih, napal dan batupasir gampingan; Batuan Terobosan berupa gabro (Tmpi) dan diorite (Tmd) dengan warna merah pada Peta Geologi; kemudian batuan berumur Kuarter berupa Anggota Lempung Formasi Ligung (QTlc) yang tersusun oleh litologi batulempung tufan dan batupasir tufan; dan yang menutupi bagian atas paling muda tersusun oleh Batuan-batuan Gunungapi Jembangan yang didominasi oleh lava andesit dan batuan klastika gunungapi (Qjm, Qjo, dan Qjya).
Kondisi topografi secara umum memperlihatkan keadaan yang bergelombang cukup kuat dan curam, di mana keadaan yang demikian ini diakibatkan oleh kontrol struktur geologi dan kondisi litologi/batuan penyusunnya. Sedangkan kontrol struktur geologi yang terekam dalam Peta Geologi Regional didominasi sesar-sesar normal, sesar geser dan sesar naik.
Tanah longsor dapat juga terjadi karena adanya peningkatan kandungan air pada lapisan tanah pelapukan yang bersifat porous seiring dengan curah hujan yang tinggi (sangat tinggi), sehingga terjadi penjenuhan pada tanah pelapukan dan batuan permukaan. Penjenuhan ini mengakibatkan bertambahnya bobot masa tanah dan meningkatnya tekanan pori, sehingga tahanan geser menjadi berkurang.
Kemiringan lereng yang terjal (biasanya >45°) semakin memperkuat untuk terjadinya keruntuhan. Kontak antara tanah pelapukan yang cukup tebal dengan litologi batulempung tufan bertindak sebagai bidang gelincir. Material longsoran bergerak mengikuti lembah dan menggerus tebing lembah yang dilaluinya, sehingga semakin meningkatkan volume material rombakan yang dibawa.
Banyaknya volume material rombakan yang kemudian tercampur dengan air sungai yang dilaluinya mengakibatkan viskositas semakin meningkat, sehingga aliran bahan rombakan ini menjangkau areal yang cukup jauh dan merusak serta menimbun sarana dan prasarana yang dilaluinya. Faktor lain, kemungkinan dari faktor hidrogeologi yang berpengaruh dalam gerakan tanah adalah sifat resapan air/permeabilitas tanah di lokasi longsoran yang relatif kecil.
Penyebab gerakan tanah yang terkait dengan faktor keairan ini antara lain sifat fisik-mekanik tanah yang dipicu oleh air tanah, pengaturan air permukaan yang kurang baik, penambahan kadar air yang berlebihan, kadar air yang terlalu besar pada daerah lereng, serta luapan air yang berlebihan pada waktu hujan yang tidak segera dapat dibuang. Disisi lain, longsor (landslide) yang terjadi pada senja hari (awal ufuk Magrib) di Dusun Sijemblung Desa Sampang yang berada pada wilayah pegunungan (elevasi sekitar 900 meter) telah mengagetkan semua pihak akan terulangnya kembali bencana akibat tanah longsor yang kemungkinan besar disebabkan oleh peningkatan kadar air dalam tanah akibat curah hujan yang sangat tinggi.
Sebagai salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah cukup tinggi (umumnya berada pada lahan kritis dan labil) yang berada pada wilayah yang rawan bencana geologi, seperti gerakan tanah tipe landslide, maka sudah seyogyanya harus selalu memahami kondisi alam tempat kita berpijak dan selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman gerakan tanah yang dapat menimbulkan bencana harta dan jiwa. Pemahaman mengenai petunjuk awal (precursor) terjadinya gerakan tanah merupakan hal yang penting dalam mendukung keberhasilan mitigasi gerakan tanah dan akan sangat menguntungkan, sehingga dapat menghindarkan diri sebelum bencana datang dan selalu siap siaga.