Kecewa Pemerintah Aceh, Mantan GAM Kembali Angkat Senjata, Istri Memintanya Pulang
Linawati (35), istri Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi sangat berharap suaminya itu segera pulang, bersatu kembali dengan keluarga
Editor: Sugiyarto
* Tapi Din Tetap Lanjut Berjuang
TRIBUNNEWS.COM, IDI - Linawati (35), istri Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi sangat berharap suaminya itu segera pulang, bersatu kembali dengan keluarga setelah sekian bulan tak pulang.
Ia juga berharap Pemerintah Aceh dan aparat keamanan dapat menyelamatkan hidup Din Minimi agar bisa kembali berkumpul dengan dirinya dan ketiga anak mereka.
Dihubungi Serambi Kamis (27/5) sore via handphone (hp) selama 15 menit, Linawati berterus terang sudah sangat merindukan kepulangan suaminya.
Itu pula yang kini dirasakan anak-anaknya. “Soalnya, kurang lebih tujuh bulan sudah kami tak bertemu,” kata Linawati.
Tujuh bulan itu dia hitung sejak sang suami pertama kali unjuk diri dengan memegang senjata api untuk dipublikasi secara terbuka pada Kamis, 9 Oktober 2014 lalu.
Saat itu Din Minimi resmi menyatakan perlawanannya kepada Pemerintah Aceh yang membuatnya kecewa karena, menurutnya, belum berpihak kepada mayoritas eks kombatan GAM dan anak-anak yatim korban konflik.
Juga belum optimal memperjuangkan terwujudnya butir-butir MoU Helsinki.
“Kami sekeluarga merindukan Bang Din. Segeralah kembali, untuk berkumpul lagi seperti dulu,” kata Linawati.
Ia mengaku dinikahi Din Minimi pad 5 Mei 2000. Lima belas tahun menikah, pasangan ini telah dikarunia Allah tiga anak, masing-masing Rizki Maulana (13), Mahdalena (9), dan Amiranda (3).
Kini mereka tinggal di Desa Ladang Baroe, Kecamatan Julok, Aceh Timur, tanpa sang pelindung, Din Minimi.
Rumah yang ditempatinya berkonstruksi kayu, beratap rumbia. Dinding kayunya tidak bercat. Rumah itu dihuni tujuh orang.
Selain Linawati bersama tiga anaknya, juga Fachrurrazi (14), adik kandung Din Minimi yang kini masih SMP.
Dua orang lainnya adalah Safiah (70), ibu kandung Din Minimi, dan ayah kandung Linawati yang kini berumur 90 tahun.
Saat dihubungi Serambi per telepon tadi malam, Din Minimi mengaku sangat maklum pada kerinduan dan permintaan istrinya itu.
Tapi ayah tiga anak dan mantan kombatan GAM itu mengaku akan terus memperjuangkan cita-citanya menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh sampai akhir hayat.
Din Minimi cenderung tak menghiraukan permintaan istrinya untuk turun gunung dan berkumpul kembali bersama keluarga sebelum cita-citanya terwujud.
“Kalau tidak ada satu pun keputusan, biarkan saya di sini (hutan -red) sampai menutup mata. Biar puas hati mereka (Pemerintah Aceh -red),” kata Din Minimi.
Saat wawacara berlangsung Din Minimi mengaku sehat, bersama rekan-rekannya yang tak dia sebutkan di mana lokasinya.
Din Minimi juga kembali bercerita banyak tentang kekecewaannya atas perlakukan Pemerintah Aceh yang dinilainya tidak memberikan keadilan kepada rakyat Aceh.
Padahal, katanya, wujud dari perdamaian Aceh adalah adanya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
“Saya tak butuh negara. Tidak minta Aceh merdeka. Saya hanya menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh,” ujarnya.
Tapi sebaliknya, kata Din Minimi, kesejahteraan hanya dirasakan oleh lapisan elite pemerintah. Hal itu pula yang membuatnya angkat senjata.
Kepada Serambi yang mewawancarinya, Din mengaku tetap kukuh dengan prinsip perjuangannya.
Ia tak akan pernah berhenti mengobarkan semangat menuntut keadilan pemerintah.
Setidaknya, seperti yang pernah berkali-kali ia sampaikan kepada media.
Din Minimi hanya menginginkan Pemerintah Aceh memberi keadilan kepada anak yatim, janda korban konflik, dan mewujudkan butir-butir MoU Helsinki seperti yang telah disepakati Pemerintah RI dan GAM.
“Kami bukan perampok. Kami tidak menembak TNI. TNI mana yang kami tembak? Sekarang empat rekan saya sudah syahid, juga Yusliadi. Dia adalah seorang yatim. Bagaimana nasib keluarga dan anak-anak mereka? Apakah pemerintah masih ingin melanjutkan konflik ini?” tanya Din Minimi bernada tegas.
Din kembali menyatakan tak pernah bermusuhan dengan TNI maupun polisi. Ia hanya menuntut keadilan kepada Pemerintah Aceh.
Namun, operasi yang dilancarkan aparat TNI dan polisi membuat ia harus kehilangan beberapa rekannya, termasuk kartu identitas dirinya (KTP dan dua kartu asuransi) hilang dalam kontak tembak di perbukitan Gampong Geuni, Kecamatan Tangse, Pidie, Selasa (26/5) lalu.
Namun, ia menegaskan akan tetap melanjutkan perjuangan sampai cita-citanya terwujud. “Sebelum ada keadilan itu, biar saya dikejar-kejar, biarkan saya tutup mata di sini,” ucapnya.
Di sela-sela wawancara, suara Din Mini seperti tercekat. Lalu dia ungkapkan pahit getir hidup keluarganya di masa silam. Ia mengaku ayahnya, Ismail Amat, hilang pada masa konflik.
Nasib yang sama juga terjadi pada adiknya, Hamdani alias si Tong. Hingga sekarang kubur keduanya tak pernah diketahui.
“Abeh ureung chiek lon, lage abeh eh bak jalan. Hana meupat kubu. Sedih that lon. (Orang tua saya meninggal seperti es mencair di tengah jalan. Tak tahu di mana kuburnya),” ujar Din Minimi terharu.
Menurutnya, perlakukan Pemerintah Aceh yang bersikap tidak adil pascadamai makin menggumpalkan kekecewaannya. Akhirnya Din Minimi memilih kembali memanggul senjata.
Saat Serambi bertanya tentang keinginan istrinya agar turun gunung, Din Minimi kukuh dengan pendiriannya, tetap berjuang mencari keadilan. Ia mengatakan anak dan istri adalah jiwa baginya.
“Tapi kalau saya wujudkan keinginan untuk bertemu istri dan anak saya sekarang, lalu bagaimana dengan anak-anak yatim yang ada bersama saya di sini sekarang?” ujarnya lirih.
Din Minimi mengaku memendam harapan suatu kelak ia dapat bertemu dengan anak dan istrinya, setelah perjuangannya selesai.
“Selama ini tak pernah ada kesempatan lagi bermanja-manja dengan anak-anak saya. Siang dan malam terkadang saya juga menangis di sini teringat mereka,” ujarnya.
Ketua LSM Aceh Human Foundation (AHF), Abdul Hadi Abidin, kepada Serambi mengatakan telah mengenal lama Din Mini.
Baik saat menjadi kombatan GAM sampai Din menjadi operator buldozer dalam proyek pembangunan yang dikelola Abdul Hadi di bawah naungan LSM AHF.
“Kami berkenalan sejak sama-sama menjadi tentara GAM. Sedangkan saya ada di wilayah Pante Bidari,” ujar Abdul Hadi yang juga Ketua Asosiasi Kontraktor Aceh Timur.
Pada 2011, Din Minimi tak lagi bekerja sebaga operator buldozer. Sejak itu Din mulai memperlihatkan ketidaksukaannya kepada kepemimpinan “Zikir” yang dinilainya tak tepat janji.
Menurutnya, Din Mimini adalah sosok yang khas. Ia memegang teguh prinsip ideologi dan sosok seorang ayah yang baik dalam keluarga.
Abdul Hadi juga mengapresiasi sikap Danrem Lilawangsa yang sudah menghubungi Din Minimi dan meminta segera meletakkan senjatanya.
“TNI/Polri sudah melakukan langkah persuasif, kami berharap Din Minimi mau kembali ke masyarakat dan keluarganya. Saya siap memfasilitasi Din Minimi turun gunung,” kata pria yang kerap disapa Adi Maros itu.
Adi menambahkan, sampai saat ini ia masih memiliki hubungan baik dengan Din Minimi lewat jalinan komunikasi telepon.
“Saya ingin Bang Din selamat dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Hanya itu cita-cita saya,” ucap Adi Maros. (tim)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.