MUI Jateng: Uang Kepesertaan BPJS Kesehatan Tak Jelas
Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Daroji berpendapat, semestinya pemerintah melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada rakyat soal sistem kerja BPJS.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah ikut berbicara mengenai munculnya fatwa bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak sesuai syariah. Fatwa tersebut merupakan hasil rekomendasi dari komisi Fatwa MUI yang menilai keberadaan BPJS tidak sesuai ketentuan syariah.
Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Daroji berpendapat, semestinya pemerintah melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada rakyat soal sistem kerja BPJS. Terlebih, mayoritas warga Indonesia beragama Islam.
“Terkait fatwa haram ini, uang kepesertaan dalam BPJS tidak mengandung kejelasan, dan pemerintah juga harus nomboki. Seorang harus diberi penjelasan bahwa uang kepesertaan itu digunakan untuk apa. Kalau tidak ada penjelasan, itu bisa dianggap menipu (gharar) dan bisa dianggap untung-untungan (maysir),” kata Kiai Daroji, Jumat (31/7/2015).
Selain memuat unsur tersebut, sistem BPJS juga dinilai mengandung riba. Sebab, uang yang terus dikumpulkan ketika didiamkan akan mempunyai bunga, sehingga tiga hal tersebut perlu diselesaikan.
“Kebijakan BPJS itu ada orang yang diuntungkan dan tidak diuntungkan. Tiga hal tersebut sudah semestinya diselesaikan dulu agar tidak melanggar ketentuan Islam,” tambahnya.
Terkait kepesertaan, Kiai Daroji mengusulkan agar uang para peserta diserahkan atau dikerjasamakan ke Bank Syariah. Selain dinilai mempunyai hukum perjanjian (akad) yang jelas, juga untuk menghilangkan sikap keragu-raguan atas akad yang berlangsung, sehingga BPJS bisa sesuai ketentuan syariah.
“Dalam waktu dekat ini, MUI dan Pemerintah akan berkonsultasi. Kami di Jateng menilai BPJS menolong orang di saat sakit, tapi sistemnya perlu diperbaiki,” ucapnya.
Sebelumnya, Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan yang tidak sesuai syariah muncul karena kebijakan tersebut dinilai mengandung unsur gharar, maysir, dan riba. Alasan lainnya, kepesertaan BPJS Kesehatan juga dianggap tidak adil karena masih membedakan latar belakang peserta.
Penulis: Kontributor Semarang, Nazar Nurdin