Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lie Yun Fong Tak Pernah Meminta Fasilitas kepada Negara

Keakrabannya tidak sekadar rekan seperjuangan. Ayahnya pun pernah membantu mencarikan obat untuk anak Adam Malik yang sakit pada masa agresi militer.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Lie Yun Fong Tak Pernah Meminta Fasilitas kepada Negara
Istimewa/Bakti Buwono Budiasto
Lie Yun Fong 

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Sebuah toko alat tulis di Jalan Pekojan no 50 ternyata menyimpan kisah perjuangan etnis Tionghoa bernama Lie Yun Fong atau Ali Sudjianto pada masa kemerdekaan. Dari luar, Toko Boma yang berada di kawasan Pecinan itu tampak seperti toko lainnya. Aktivitas jual beli layaknya toko juga tidak ada yang spesial.

Namun, begitu masuk di sebuah ruang kerja di bagian belakang toko, atmosfer perjuangan pun tampak. Di sebuah dinding dipajang foto-foto almarhum Lie Yun Fong yang merupakan pejuang 45 bersama Adam Malik. Tak lupa, gambar Presiden Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla juga ada.

"Ayah saya dulu juga seorang pejuang di masa akhir penjajahan Jepang hingga Agresi Militer Belanda yang membuat ibu kota Indonesia pindah ke Yogyakarta," kata Leni Kusumawati (64) atau Lie Ie Tjing mengawali cerita perjuangan ayahnya.

Sembari melihat foto ayahnya di dinding, ibu dua anak itu mengatakan bahwa ayahnya berjuang dengan pena atau jadi wartawan. Satu kantor dengan Adam Malik di Yogyakarta, Ali merupakan salah satu wartawan koran Sin Po dan menulis di tempat lain.

Baca: Menelusuri Jejak Pahlawan Kemerdekaan Tionghoa Lie Yun Fong di Semarang

Berdasarkan cerita ayahnya, ketika agresi militer, pihak Belanda melalui NATO tidak hanya menyerang Indonesia secara fisik. Namun juga propaganda melalui media bahwa rakyat Indonesia masih ingin diperintah di bawah Belanda. Kabar itu disebarkan ke dunia internasional.

Ali yang kala itu bisa lima bahasa yaitu Mandarin, Belanda, Inggris, Jepang dan Indonesia, menahan gempuran propaganda itu dengan tulisan sesuai fakta yaitu rakyat Indonesia ingin merdeka.

Mulai 1944 hingga 1949, Ayahnya terus menulis berita perlawanan rakyat Indonesia. Ia tidak hanya menulis untuk lokal tetapi juga mengirimkan tulisannya ke beberapa media internasional seperti BBC.

"Ayah saya cerita bahwa dirinya harus membuat berita kontra agar masyarakat internasional saat itu tahu fakta yang sebenarnya," kata Leni dengan mata sembabnya.

Leni Kusumawati (64) bercerita, setelah kemerdekaan, ayahnya, Lie Yun Fong memilih berdagang. Meski termasuk dalam pejuang 45, ayahnya tidak pernah meminta fasilitas apapun pada negara. Padahal ayahnya cukup dekat dengan Adam Malik yang sempat jadi wakil Presiden kala itu.

"Ayah saya lebih tua 10 tahun dan pernah satu kantor di Yogyakarta ketika sama-sama jadi wartawan," katanya saat ditemui di Toko Boma Jalan Pekojan no 50, Semarang, beberapa waktu lalu.

Keakrabannya tidak sekadar rekan seperjuangan. Ayahnya pun pernah membantu mencarikan obat untuk anak Adam Malik yang sakit pada masa agresi militer.

Ketika itu, obat sulit dicari. Dengan mengandalkan jaringan, Lie Yun Fong berhasil mendapatkan obat. Apalagi keluarga ayahnya juga dikenal sebagai keluarga tabib.

Saat pindah ke Semarang, ayahnya membuka toko di Pecinan. Awalnya hanya toko kelontong dan sempat berganti-ganti usaha hingga menjadi toko alat tulis seperti sekarang ini.

Pada masa berdagang itu, ayahnya pernah bertemu Adam Malik di bandara. Saat itu, ia bercerita keadaannya saat ini dan Adam Malik minta pada ayahnya agar datang ke kantornya untuk diberi fasilitas.

"Ditawari bantuan tapi ayah saya tidak mau datang ke kantor. Lalu pernah juga ketemu di pameran lukisan di Jakarta," kenangnya.

Leni ingat pesan ayahnya agar tidak mengambil pamrih dari perjuangan. Tidak perlu berpikir macam-macam tentang fasilitas. Cukup hidup dengan jujur dan benar.

Hidup di masa perjuangan membuat ayahnya mendidik anaknya dengan disiplin. Ia mengenang ayahnya selalu tidur dan bangun tepat waktu. Ayahnya pun selalu mengajarkan untuk tidak membenci orang lain.

Tidak hanya itu ayahnya juga aktif di berbagai organisasi serta terus belajar hingga tua. Ia kagum hingga usia 90 tahun, ingatan ayahnya masih tajam.

Meninggalnya sang ayah pun disyukurinya karena meninggal dengan tenang. Ayahnya meninggal di pangkuan anak tertuanya setelah berbincang dengan sebagian besar anaknya.

"Kami berbincang-bincang dengan ayah sekeluarga waktu malam itu. Lalu ketika ayah mau istirahat mendadak suster perawat mengabari bahwa ayahnya sesak napas. Kakak saya yang dokter pun memeriksa namun ayah sudah mengembuskan napas terakhir," jelasnya. (Tim)

BERITA TERKAIT
Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas