Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Larangan Penangkapan Rajungan Bertelur, Kerupuk Rajungan pun Menghilang

Adanya larangan penangkapan rajungan bertelur membuat pengecer kerupuk telur rajungan kesulitan mendapatkan produk tersebut.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Larangan Penangkapan Rajungan Bertelur, Kerupuk Rajungan pun Menghilang
warungputramadura
Kerupuk Rajungan 

TRIBUNNEWS.COM, REMBANG - Adanya larangan penangkapan rajungan bertelur membuat pengecer kerupuk telur rajungan kesulitan mendapatkan produk tersebut.

Dedy Risdiyanto, warga Pamotan, Rembang, mengatakan dia terkadang membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk mendapatkan kerupuk telur rajungan.

"Sekarang sedang kosong karena sulit bahan baku telur rajungannya. Kemungkinan imbas dari peraturan pelarangan penangkapan rajungan bertelur. Saya punya stok kerupuk yang saya ambil sebelum lebaran kemarin. Saya pernah dua bulan ngga dapat barang," ujarnya, pekan lalu.

Kerupuk telur rajungan, kata Dedy, merupakan produk olahan yang diproduksi oleh istri-istri nelayan sebagai penghasilan tambahan.

"Istri-istri nelayan memanfaatkan limbah lemi dari industri pengupasan rajungan yang berada di pinggiran pantai Rembang. Salah satu limbahnya berupa telur rajungan yang kemudian diolah jadi kerupuk," ujarnya.

Tiap kulakan, Dedy mengambil 20 kilogram kerupuk mentah. Tiap 200 gram kerupuk mentah dibanderol dengan harga Rp 6.500.

"Kalau dijual lagi Rp 7.500 sampai Rp 8.000 per 200 gramnya. Peminatnya cukup banyak. Kulakan bisa habis sebulan kemudian. Pembeli juga datang dari luar kota," ujarnya.

Dedy mengatakan tidak bisa berbuat banyak jika penangkapan rajungan, kepiting dan lobster bertelur dilarang oleh pemerintah.

"Saya hanya pengecer. Kalau sudah tidak produksi lagi ya mau gimana lagi. Bahan bakunya juga ngga ada," ujarnya.

Sementara itu, seorang pengepul kepiting, Sobari (46), warga Bonang, Demak, mengaku belum mendapat sosialisasi terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 yang melarang penangkapan kepiting, rajungan, dan lobster bertelur.

Setiap hari, Sobari mengirim kepiting dan rajungan minimal 1 kuintal ke beberapa restoran dan rumah makan di Semarang.

"Saya juga memasok ke beberapa hotel," katanya.

Adanya larangan penangkapan tersebut, Sobari mengaku khawatir tidak bisa lagi memenuhi pesanan restoran dan hotel.

"Yang bertelur itu justru kesukaan konsumen. Jika dilarang ditangkap, tentu saya tidak bisa mendapatkan pasokan," tuturnya.

Sobari mengaku, selama ini mendapatkan semua jenis ikan, kepiting atau rajungan dari para nelayan, khususnya nelayan yang menggunakan perahu besar. Dari para nelayan, Sobari membeli kepiting bertelur dengan harga lebih mahal.

Sobari berharap, larangan tersebut bisa diubah. Dia beralasan, kondisi populasi kepiting, rajungan dan lobster di wilayah Demak, Semarang dan Jepara, terbilang masih banyak.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Lalu M Syafriadi menyatakan sudah melakukan sosialisasi mulai dari unit pengolahan ikan, eksportir hingga nelayan, terkait larangan mengonsumsi kepiting, lobster dan rajungan bertelur.

"Memang ada sejumlah kendala, namun kami telah melakukan sosialisasi. Bahkan kami juga sudah sosialisasi ke peternak penggemukan kepiting," kata Lalu kepada Tribun Jateng (Tribunnews.com Network), Senin (31/8/2015), menanggapi sejumlah protes yang menentang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 tentang larangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan bertelur.

Menurut Lalu, banyak kejadian nelayan memperoleh lobster dan ingin melepaskannya namun hewan itu keburu mati. Kendala lain, para nelayan kurang mampu tidak mempunyai biaya operasional untuk kembali melaut, sekadar mengembalikan lobster hasil tangkapan.(tim)




Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas