Ester Junita Ginting: Menjadi Pahlawan Butuh Tiga Karakter Ini
Mereka yang berkarya dalam pekerjaan sederhana dan tidak berarti dapat juga dimaknai sebagai pahlawan.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Anggapan bahwa pahlawan adalah selalu orang yang terbunuh di medan perang, ataupun seseorang yang mengerjakan karya yang besar, untuk jaman sekarang tidaklah selalu demikian.
Mereka yang berkarya dalam pekerjaan sederhana dan tidak berarti dapat juga dimaknai sebagai pahlawan.
Tiga dasar utama, yang dapat disebut sebagai pahlawan adalah seseorang yang mengerjakan karya sederhana dengan cara luar biasa serta tanpa kenal lelah, demi kemajuan peradaban manusia dan memanusiakan manusia lain.
Tanpa ketiga dasar tersebut, makna kepahlawanan yang selama ini dikenal menjadi tiada arti.
Demikian ditegaskan Direktur Bank Sumut, Ester Junita Ginting di hadapan ratusan mahasiwa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Medan.
Berdasarkan rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com, Ester menghadiri forum bulan apresiasi film nasional yang secara khusus mendiskusikan film “3 Nafas Likas”, di Auditorium Utama Catholic Center, Medan, Minggu (4/10/2015)
Likas adalah tokoh perempuan asal Tanah Karo yang merupakan isteri pahlawan nasional Letjend Jamin Ginting. Likas adalah juga Pahlawan Nasional yang mengabdikan dirinya sebagai pejuang emansipasi perempuan di Sumatera Utara.
“Beliau pantas disejajarkan dengan ibu RA Kartini. Jika di Jawa Tengah ada Ibu RA Kartini, di Sumut kita mengenal Ibu Likas, yang merupakan sumber perjuangan emansipasi bagi perempuan di sini.
Dan saya sangat yakin, bahwa perjuangan di dunia emansipasi pada waktu itu dibutuhkan komitmen tanpa kenal lelah, dan berhadapan dengan nilai budaya tradisional yang eksis pada waktu itu.
Jika perempuan Sumut sekarang merasakan adanya nafas kebebasan dalam berkarya, itu merupakan hasil dari perjuangan Ibu Likas,” tegas Ester Ginting.
Ditegaskan juga, komitmen pada pekerjaan sederhana yang dilakukan dengan cara luar biasa bisa juga diambil contoh Bunda Teresa di Kalkuta yang memerangi kemiskinan dengan cara memanusiakan manusia terlantar serta tersia-siakan masyarakat.
“Pekerjaan Bunda Teresa bukanlah bertempur di medan perang atau yang dilakukan merupakan pekerjaan besar. Setiap orang bisa kok, kalau mau, memberi perhatian kepada orang miskin.
Tetapi nyatanya, tidak semua orang mampu melakukan dengan cara seperti yang dilakukan Bunda Teresa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibu Likas.
Memanusiakan perempuan Sumatera Utara di tengah aturan adat yang ketat bukanlah pekerjaan mudah. Mungkin banyak orang yang mampu melakukan itu, tetapi yang setia dan berkomitmen, mungkin sedikit sekali. Dan yang terpenting adalah, apa yang dilakukan Ibu Likas bukanlan pencitraan,” ujar Direktur Sumut itu.
Sementara itu, Ketua PMKRI Medan Rikson Sihotang menjelaskan bahwa serial apresiasi diskusi film nasional yg digagas oleh PMKRI Medan ini merupakan salah satu bentuk kegiatan yang bertujuan membangkitkan nasionalisme dalam diri mahasiswa. Selain, “3 Nafas Likas” , ada 6 (enam) film lain yang didiskusikan termasuk “Soekarno” dan “Soegija”.
Pendekatan pembangunan nasionalisme melalui film seperti yang digagas PMKRI Medan mendapat dukungan penuh dari Ketua FORKOMA (Forum Komunikasi Alumni PMKRI) Medan, Delphius Ginting dan Ketua Nasional FORKOMA, Hermawi Taslim.
Oleh Hermawi Taslim dikatakan, pendidikan nasionalisme harus menggunakan pendekatan visual mengingat generasi muda saat ini lebih tertarik pada visualisasi daripada membaca.
Berharap, pendidikan nasionalisme yang berujung pada pembangunan karakter bangsa dalam diri anak muda harus bermuara pada pembangunan Indonesia tanpa harus membeda-bedakan suku, agama ataupun ras. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.