Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mukidin Sosok Sederhana Pelestari 22 Mata Air dari Gunung Telomoyo

Banyaknya lahan kritis dan kurangnya persediaan air bersih sempat dialami warga yang tinggal di lereng Gunung Telomoyo, Kecamatan Grabag, Magelang

Editor: Sugiyarto
zoom-in Mukidin Sosok Sederhana Pelestari 22 Mata Air dari Gunung Telomoyo
tribunjogja/agungismiyanto
Mukidin, salah satu warga yang meraih beragam penghargaan lingkungan hidup dan konservasi alam di tingkat nasional. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto

TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Banyaknya lahan kritis dan kurangnya persediaan air bersih sempat dialami warga yang tinggal di lereng Gunung Telomoyo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.

Namun, kini masalah itu bisa diatasi dengan hadirnya, Mukidin, salah satu warga yang meraih beragam penghargaan lingkungan hidup dan konservasi alam di tingkat nasional, yang bergerak “mengobati” alam dan melestarikan cadangan sumber air bersih di wilayahnya Desa Ngrancah, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.

Aliran air terdengar begitu deras di sebuah bak penampungan berukuran sekira 4 x 4 meter di tengah ladang asri di Desa Ngrancah, siang itu.

Seorang pria, nampak sumringah begitu membuka pintu bak yang terbuat dari besi tersebut.

Dia dengan seksama memperhatikan aliran air yang begitu deras dari mata air yang dikenal dengan nama Banyu Tarung itu.

Pria berusia 48 tahun yang bernama Mukidin itu kemudian menghela nafas, lalu memperhatikan alam di sekelilingnya yang nampak lestari.

Berita Rekomendasi

Meski panas terik matahari menyengat tubuh, kondisi udara di sekitar ladang tersebut sejuk, jauh dari polusi udara, dan dingin.

“Aliran air banyu tarung ini mengaliri empat desa, yakni Banjarsari, Kali Pucang, Losari, dan Ngrancah. Keberadaan mata air ini, cukup bermanfaat untuk air minum dan pertanian bagi ribuan jiwa yang ada di sekitar Telomoyo,” kata Mukidin membuka pembicaraan kepada Tribun Jogja.

Tribun Jogja/Agung Ismiyanto

Jauh sebelum aliran air dari wilayah Gunung Telomoyo itu mengalir deras, warga yang berada di bawah aliran air itu kerap menemui permasalahan air.

Tak jarang, warga mengonsumsi air keruh hingga medio tahun 2000an karena air cukup sulit.

Permasalahan keruh ini lantaran, air mengalir hanya melalui parit kecil. Jika ditampung dalam bak, ujar Mukidin, saat itu debit air sangat kecil.

Persoalan ini terus meluas hingga sempat membuat konflik antar warga desa karena keterbatasan air yang menjadi penopang hidup utama warga di sekitarnya.

Ubah Pola Tanam

Mukidin yang sempat menjabat sebagai Kepala Desa Ngrancah tahun 2000 hingga 2013 itu kemudian berupaya untuk membuat sebuah terobosan.

Dia menganalisa permasalahan lingkungan yang membuat hilangnya mata air di wilayahnya.

Selain mata air hilang, wilayahnya juga merupakan daerah yang sering longsor dan banjir jika musim penghujan.

Keprihatinannya itu semakin memuncak, hingga dia akhirnya mengubah pola tanam warga di sekitarnya.

Awalnya, dia memulai “pengobatan” alam itu dengan menanami lahan kritis yang mencapai sekitar 150 hektar di tahun 1990an dengan tanaman keras dan mampu menyerap cadangan air, seperti aren, mahoni, dan juga tanaman keras jenis kopi.

Sementara, warga lainnya tetap menanami lahan mereka dengan tanaman semusim berupa singkong dan jagung, yang hanya bisa dipanen setahun sekali.

“Dahulu banyak warga yang menanami lahan miring dengan tanaman jagung dan singkong. Tentu saja, dampak dari tanaman semusim ini mempercepat tanah longsor. Dampak yang paling terasa adalah mati atau menghilangnya titik mata air,” ujarnya.

Pola tanam yang diterapkan oleh juara I kader konservasi alam tingkat nasional tahun 2012 ini, belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.

Masyarakat mencibir langkah yang diterapkan oleh bapak berputra satu ini.

“Tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir masyarakat untuk sadar mengobati lahan terdegradasi. Mereka masih berpikir pragmatis, kalau menanam harus tanaman yang memberikan untung. Namun, tidak melihat efeknya pada alam dan hilangnya sumber air,” ujar ayah dari Muhammad Chabibulah dan suami dari Indariyah (48) itu.

Namun, lambat laun, masyarakat mulai menyadari perubahan alam akibat pola tanam yang dilakukan oleh Mukidin.

Tanah longsor mulai bisa dikendalikan dan tidak ada lagi banjir. Akhirnya warga mulai banyak berguru padanya.

Warga mulai menanam tanaman kayu keras yang diselingi dengan tanaman semusim atau tanaman lain.

Warga di sana juga akhirnya banyak menanam aren, mahoni, waru, sengon dan lainnya yang menurut Mukidin mampu menyimpan cadangan air yang banyak.

Atas prestasi itu pula dia mendapat beragam penghargaan seperti, Juara Penggerak Kehutanan juara II tahun 2006, juara Kalpataru Jateng Kategori Perintis Lingkungan tahun 2011,

Juara I nasional kader Konservasi Alam Tingkat Nasional tahun 2012, kemudian Juara II Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat tahun 2014, dan Juara I Program Kampung Iklim (Proklim) tingkat nasional tahun 2014.

“Setelah masyarakat melihat dampaknya bagi kelestarian alam mereka menjadi tertarik. Secara tidak sengaja timbul banyak mata air yang akhirnya dimanfaatkan bagi kepentingan warga sekitar".

"Dari sebelumnya 10 mata air, saat ini sudah ada 22 mata air yang menjadi tumpuan warga,” kata Mukidin yang kerap menjadi pembicara tingkat nasional dan regional ini.

22 mata air itu antara lain banyu tarung yang dimanfaatkan untuk air minum bagi empat desa dan lahan pertanian.

Ngrembes yang dimanfaatkan untuk air minum, Ngampel (pertanian), Setapruk (pertanian), Ringin putih (air minum Desa Wates Losari),

Delik (air minum Desa Nawangsari), Kreo 1 (air minum Dusun Kepatran), Kreo 2 (air minum Dusun Kepatran), Kreo 3 (air minum), Baturan (pertanian), Puluhan (air minum Desa Kalipucang), Situk (air minum).

Kedua belas mata air ini berada di Dusun Ngrancah, Desa Ngrancah.

Sementara itu, 12 mata air lainnya berada di Dusun Pucung dan Dusun Tuk Bugel, Desa Ngrancah, yang dimanfaatkan untuk air minum dan pertanian.

Bahkan, ada yang dimanfaatkan untuk mata air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

“Mata air ini tetap mengalir di musim kemarau secara konstan, karena kami benar-benar berupaya menghijaukan alam dan tidak hanya mengambil manfaat dari alam,” katanya. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas